Kotaraja saat ini telah berubah menjadi ramai semenjak Dyah Wijaya membuka alas Tarik dan menetapkan wilayah desa Majapahit sebagai dampar singgasana kerajaan Wilwatikta. Â Debu-debu berhamburan dari kelebat 4 orang yang menderap kuda tunggangan laiknya terbang melalui jalan utama menuju gerbang masuk Kotaraja. Nampak terlihat kuda-kuda itu dipacu tanpa henti, para penunggangnya seperti enggan melewatkan waktu sedetik pun untuk sekedar istrahat bahkan melambatkan laju kuda tunggangannya.
Ki Demang dan Utami dengan ditemani oleh  dua prajurit Majapahit langsung menuju ke Pura Bina Grha, sebuah wisma di sayap kiri dari paseban pura Majapahit. Sosok penting telah menanti kedatangan Ki Demang. Pandangan Utami menyapu kesekeliling kompleks,  tak henti-hentinya ia mengagumi  keramaian kotaraja dengan keindahan bangunannya terlebih ini adalah kunjungan kali pertamanya ke pusat pemerintahan Majapahit,  lelah dan penat berkuda sepertinya tidak dirasakannya lagi.
Ki Demang yang segera turun dari kuda langsung segera berjumpa kepada pemberi pesan. Rakryan Rangga, sebuah jabatan selaku pembantu panglima angkatan bersenjata kerajaaan sudah menunggunya. Sosok yang ditemuinya ini adalah perwira militer yang sangat perbawa dan ahli strategi dalam pertempuran, Â satu dari sekian perwira yang dahulu dipercaya penuh oleh Kertanegara dalam ekspedisi ke Melayu, seklaigus juga merupakan pimpinan langsung Ki Demang kala ia masih bergabung di militer era Singhasari. Â Sebab itulah Ki Demang mau segera keluar dari padepokan menuju Kotaraja, dengan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya sepanjang perjalanan tentunya.
Kerisauan Ki Demang dipicu selain soal lontar sandi yang dikirimkan oleh dua Caraka kemaren, juga selain setelah melihat sendiri bagaimana suasana yang mencekam di kotaraja dari cerita kedua Caraka yang menjemputnya. Memasuki Kotaraja nampak sangat mencolok terlihat prajurit2 kerajaan banyak berjaga-jaga, mulai dari gapura masuk hingga ke alun-alun. Panji2 militer Majapahit dikibarkan disetiap sudut. Pun sepanjang di perjalanan tadi, Ki Demang beberapa kali menjumpai serombongan pasukan2 Â Majapahit bersenjatakan lengkap dengan panji2 yang berkibar menandakan kesatuan2 dari pasukan tersebut, semua bergerak ke arah pesisir utara. Gelar pasukan yang cukup besar yang biasa dilaksanakan jika dalam kondisi tempur atau ada penyambutan duta negara saja menurutnya. berdasar pengalamannya sebagai pasukan sandi yudha Singhasari, pemandangan itu meyakinkan Ki Demang memang benar akan ada prahara, bukan hanya sekedar gelar sepapan pasukan.
Surya Majapahit baru saja terbit, pergolakan dinasti dari Singhasari berujung tragis dan berbalik berkat kegigihan Dyah Wijaya dan para pendukung-pendukung setianya untuk kembali meneruskan tahta Singhasari yang porak poranda akibat penghianatan dan persekongkolan jahat dari kalangan dekat Kertanegara. Musuh-musuh Singhasari tentunya sekarang juga menjadi musuh Majapahit. Dyah Wijaya sendiri bercita-cita mewujudkan ambisi Singhasari yang luhur dalam mempersatukan Dwipantara, bahkan lebih menjadi lebih luas seantero Nusantara. Cakrawala Mandala menjadi pilihan politik Majapahit, keinginan meneruskan penyatuan wilayah-wilayah Nusantara yang sederajat dan saling menyokong  seperti upaya cita-cita Singhasari yang telah dicanangkan oleh Sri Rajasa Kertanagara.
Dalam memandang keperluan itu, Dyah Wijaya perlu mendudukkan para pembantu-pembantu setianya yang cakap dalam mengatur pemerintahan, serta tak lupa memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa para mereka yang telah bersamanya berjuang bersama dalam mendirikan Majapahit, dari mulai pelarian ke desa Terung di utara wilayah Singhasari terus menuju ke timur dan menyeberang ke Songenep hingga akhirnya tiba saatnya saling bahu-membahu mengusir tentara Tartar kembali ke utara. Majapahit dibangun dari darah dan keringat para abdi setia dan oleh sebab itu tidak boleh menjadi sebuah kesia-sian belaka, begitu ujar Dyah Wijaya dalam setiap kesempatan kala mengingatkan para Mahamantri , para Rakryan Patih, para Dharmadyaksa, dan juga seluruh Nayaka Praja mulai dari Tumenggung hingga para Akuwu wilayah dalam mengemban tugas dan pengabdian negara.
Sementara itu jauh di barat daya Kotaraja, sang Rakryan Mantridwipantara Arya Adikara yang juga bertindak selaku Adipati wilayah Tuban dan sekitarnya, dengan tenang dan seksama memberikan arahan kepada para Tumenggung  Arya dan jajaran Akuwu se-kadipaten, kepulangannya dari Majapahit beberapa waktu lalu masih menyisakan kegalauan. Bermuara pada ulahnya memprotes keputusan Sang Prabu Dyah Wijaya dalam memilih Mapatih Hamangkubhumi yang  bakal menjadi pejabat utama dan berkuasa atas jalannya roda pemerintahan. Sosok yang terpilih itu menurutnya sangat kurang berpengalaman, Adipati Tuban sendiri memang terkenal dengan sifat dan sikapnya yang terlalu jujur dan terbuka serta apa adanya, emosinya sering meledak-ledak seperti kala ia menyampaikan pandangannya terhadap pemilihan Mahapatih Majapahit hari itu.
Dalam pertemuan tersebut, Adipati Tuban sampai berkata-kata keras dan kasar kepada Mahapatih tertunjuk, Nambi, dan dengan tanpa segan serta tedeng aling-aling mengata-ngatai sambil menuduh ketidakbecusan dan betapa tidak berpengalamannya Nambi dalam mengatur jalannya roda pemerintahan. Nambi hanya bersikap diam dan tetap bersila di tempatnya, tenang sambil mendengar serta menerima semua kata-kata nan kasar dan tak mendasar atas penunjukkannya sebagai Mahapatih. Â Apa lacur, Adipati Tuban pun telah sampai melontarkan tantangan duel kepada Nambi, keras dan menggelegar saking jengkelnya atas sikap diamnya Nambi dan juga Sang Prabu sendiri dalam menyikapi protesnya akan hal itu. Tantangan bergema di paseban pura majapahit, disaksikan oleh seluruh Rakryan Patih, Dharmaputera dan para Mahamantri Raja yang hadir.
Sikap terbuka dan protes keras dari Adipati Tuban sejatinya mendapat dukungan hampir semua para Mahamantri dan juga beberapa Rakryan, tapi mengingat sikap dan tingkah laku selama dalam paseban yang justru dinilai jauh dari tata susila dalam berdiskusi dan mengutarakan pendapatnya dengan Sang Prabu, membuat pejabat-pejabat yang hadir berbalik menjadi kurang mendukung, meski tetap setuju dengan apa yang disampaikan.
Dyah Wijaya tetap dalam keputuasannya sebagai kepala negara dan sudah memberi titah, peran Mapatih Hamangkubhumi telah ditentukan. Sabda Pandita Ratu, apa yang telah diputuskan oleh raja tidak bisa ditarik kembali, dengan masih tetap menunjukkan rasa cinta dan hormat Dyah Wijaya yang sebesar-besarnya kepada seluruh para pendukungnya, terlebih Adipati Tuban yang amat sangat dikasihinya. Sang Prabu Dyah Wijaya memiliki pemikiran sendiri, meski dibilang Nambi minim pengalaman tempur, tapi di matanya Nambi adalah sosok perwira yang sangat pandai dalam siasat dan strategi, pengalaman tempurnya memang terbilang masih dibawah para Rakryan Patih yang hadir, terlebih jika disandingkan dengan Adipati Tuban, apalagi dengan Lembu Sora atau Mahisa Anabrang yang juga hadir pula dalam pertemuan di paseban waktu itu.
Pertimbangan Dyah Wijaya terlebih pada persoalan Surya Majapahit yang baru saja terbit, membutuhkan peran dari sosok yang sangat ahli berstrategi, membangun diplomasi selain menata kehidupan bernegara di dalam Majapahit sendiri. Mengingat belum lama berselang, kehidupan masyarakat porak poranda akibat perang saudara paska keruntuhan Singhasari yang berkepanjangan, sekarang saatnya Majapahit bangkit dan membangun kembali tatanan masyarakat yang adil makmur gemah ripah loh jinawi.