Robby Sopyan, Guru SMAN 2 Karawang.
Dunia Pendidikan di Indonesia kembali tercoreng, kali ini tragedi yang menimpa seorang peserta didik SMP di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang meninggal setelah menerima hukuman oleh salah satu oknum guru. Informasi yang beredar bahwa siswa tersebut dihukum dengan Squat Jump sebanyak 100 kali, hanya karena tidak hafal tugas yang telah diperintahkan. Korban sempat jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Kasus ini harus menjadi perhatian serius seluruh insan pendidikan di Indonesia, mulai dari guru, Dinas dan Kementerian Pendidikan, juga unsur masyarakat termasuk orang tua. Kekerasan dalam dunia pendidikan bertolak belakang dengan tujuan pendidikan itu sendiri, diantaranya mewujudkan peserta didik yang merdeka, dalam hal ini yaitu peserta didik yang mandiri, berdaya dengan kodratnya sendiri. Jika pola pendidikan masih terdapat unsur kekerasan, pemaksaan, bentakan, dan lain sebagainya, hanya akan membuat kondisi psikologis peserta didik dirundung rasa takut, tidak percaya dengan dirinya sendiri.
Paradigma Pendidikan sudah Berubah
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerapkan kurikulum baru yakni Kurikulum Merdeka, yang belakangan disebut Kurikulum Nasional. Jika kita telaah paradigma yang terkandung didalamnya, Kurikulum tersebut mendorong seluruh insan pendidikan berpandangan bahwa peserta didik lahir ibarat kertas yang sudah ada tulisan, namun masih samar.Â
Hal tersebut dapat dimaknai bahwa peserta didik adalah insan yang sebenarnya sudah melekat minat, bakat dan kekuatan kodratnya, namun masih "samar" sehingga tugas insan pendidikan yang memperjelasnya. Paradigma tersebut jelas berbeda dengan model, pola dan konsep pendidikan terdahulu, dimana peserta didik ibarat kertas kosong, lalu orang tua, guru dan lingkungan yang mengintervensi hendak seperti apa kertas itu diisi.
Disiplin = Kekerasan?
Pendidikan memang bertujuan diantaranya menuntun peserta didik mempunyai karakter positif, salah satunya disiplin, tanggung jawab, dan lain sebagainya. Namun, paradigma baru dalam pendidikan seperti yang dijelaskan sebelumnya, berdampak pada implementasi para pendidik termasuk pembuat kebijakan dalam menuntun mereka untuk berkarakter positif, disiplin dan bertanggungjawab misalnya.Â
Paradigma baru memberikan arahan pada kita bahwa peserta didik harus ditempatkan sebagai subjek, bukan objek. Mereka adalah manusia berpikir, dinamis dan potensial untuk bisa berubah. Sehingga dalam mendisiplinkan, tidak lagi digunakan konsep hukuman, seperti dibentak, dijemur di tengah lapangan, berdiri di depan kelas, di pukul dengan penggaris, dipermalukan dan lain sebagainya.
Para psikolog sepakat, hal tersebut hanya akan menambah rasa dendam dan ketidakpercayaan diri pada mereka. Tindakan tersebut juga dinilai tidak relevan dari sisi sebab dan akbiat, sebagai contoh siswa tidak mengerjakan tugas, konsekuensinya dihukum dengan pukulan atau dipermalukan. Antara tidak mengerjakan tugas, yang notabene mungkin karena faktor malas, terlalu banyak tugas lain, atau tugas rumah, lalu dihukum dengan dipukul atau dipermalukan, apakah hukuman dan tindakan mempermalukam tersebut menambah motivasi internal siswa untuk tidak malas? Tidak, yang ada siswa paling tidak terpaksa dan dirundung rasa takut, sehingga model pendisiplinan demikian dikatakan tidak positif.
Disiplin Positif, sebuah alternatif.
Disiplin positif sebenarnya bukan hal yang asing bagi insan pendidikam, khususnya para guru di lingkungan Kemendikbud. Pasalnya, konsep tersebut tertera dalam pelatihan mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang mana semua guru dapat mengakses materi pelatihan tersebut, bahkan ada wadah untuk pengimplementasiannya berupa aksi nyata. Namun, di lapangan rasanya para guru dinilai masih kurang inisiatif untuk mengakses pelatihan - pelatihan yang positif tersebut, sesekali mengakses itupun hanya karena tuntutan tugas e-kinerja dan sertifikasi pendidik saja.
Dalam tulisan ini penulis mendasari disiplin pada dua konsep, yaitu Segitiga Restitusi dan Lima Posisi Kontrol Guru.
Segitiga Restitusi
Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan. Tujuannya untuk memperbaiki hubungan.
Tindakan ini adalah tawaran, bukan paksaan. Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri, mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan, dan lebih berfokus pada karakter bukan tindakan. (Rusliy dkk, 2022)
Adapun strategi untuk melakukan restitusi meliputi 3 siklus langkah sebagai berikut:
Menstabilkan identitas/stabilize the identity
Validasi tindakan yang salah/validate the Misbeh
Menanyakan keyakinan /Seek the Belief
Lima Posisi Kontrol Guru
Penghukum
Guru yang menerapkan posisi ini akan menggunakan hukuman fisik atau verbal. Seperti dipukul, push-up, atau melalui cacian dan bentakan.Â
Pembuat rasa bersalah
Guru yang menerapkan posisi ini akan menggunakan keheningan untuk membuat peserta didik merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Â
Teman
Guru yang menerapkan posisi ini akan berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Guru yang menerapkan posisi ini dapat menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi murid. Namun, seringkali terjadi pembiaran - pembiaran yang dilakukan guru pada posisi ini sehingga kedisiplinan dan tanggungjawab murid kadang terabaikan.
Pemantau
Guru yang menerapkan posisi ini akan mengawasi perilaku siswa dan menggunakan bukti-bukti tersebut untuk membuat keputusan tentang tindakan apa yang perlu diambil.
Manajer
Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
(Kemendikbud, 2022)
Dari lima posisi kontrol guru diatas, guru dituntut berada pada posisi sebagai manajer. Guru yang mendahulukan informasi dibanding emosi, guru yang selalu mengajak dialog, menggali penyebab dan menawarkan solusi, bukan menghakimi.
Sebuah Refleksi
Permasalahan kekerasan pada peserta didik menjadi sebuah dilema, satu sisi pendidik ingin mendisiplinkan, memberikan nilai tanggungjawab dan membentuk karakter baik namun di sisi lain pendidik menemui kebuntuan ketika bertemu dengan murid yang melanggar, tidak nurut atau dalam kata lain "bandel". Namun mari kita refleksikan kebuntuan itu dengan alternatif menerapkan disiplin positif.
Contoh dalam kasus ini, murid tidak berhasil hafal tugas yang telah diperintahkan guru sehingga guru memberikan hukuman fisik. Dalam konsep disiplin positif, ketika anak "melanggar", artinya dia sedang melampiaskan kebutuhannya, atau setidaknya menunjukkan ketidakmampuannya, dalam kasus ini ketika murid tidak mampu hafal, artinya dia secara tidak langsung menunjukkan bahwa dia butuh metode lain selain menghafal, atau ada faktor lain sehingga dia tidak sempat menghafal, alangkah baiknya guru tidak langsung menghukum dan menghakimi, akan tetapi menggali informasi penyebab terlebih dulu. Hal itu akan menjaga kondisi psikologis peserta didik, sehingga langkah ini masuk kategori menstabilkan identitas.Â
Selanjutnya, guru melakukan langkah validasi tindakan yang salah. Pada tahap ini guru memberikan pemahaman pada siswa bahwa tidak mengerjakan tugas itu adalah tindakan yang kurang baik, kurang bertanggungjawa atas apa yang sudah ditugaskan. Karenanya penting bagi guru di awal pembelajaran mengadakan kesepakatan-kesepakatan kelas, dan juga penting untuk menguasai berbagai variasi asesmen untuk mengukur kemampuan siswa berdasarkan gaya belajar masing - masing, berdasarkan kemampuan awal, dan lain sebagainya, bukan terpaku pada satu asesmen saja, dalam hal ini hafalan atau tes lisan.
Pada tahap akhir guru mengarahkan siswa untuk menanyakan keyakinan, artinya memupukkan keyakinan bahwa nilai kedisiplinan, nilai tanggungjawab dalam belajar itu penting. Tahapan - tahapan restitusi ini berlaku secara siklus, jika terjadi "pelanggaran" alangkah baiknya guru menerapkan konsep restitusi ini dimana posisi kontrol guru adalah sebagai manajer. Dengan demikian, kekerasan dan hukuman yang merusak fisik maupun mental peserta didik bisa dihilangkan. Sekolah bisa menjadi rumah kedua yang nyaman bagi murid untuk menemukan kemerdekaan dirinya, sehingga mereka mampu menemukan jati dirinya, tidak takut dengan identitasnya namun mampu membatasi diri dengan nilai-nilai positif yang secara siklus telah ditanamkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H