Suatu hari ketika saya mendatangi seorang siswa yang sedang menyendiri.
Kemudian saya tanya, apakah kamu mau beli cilok buatan bapak ini? Murah kok, cuma 2 ribu saja.
Beberapa detik setelah saya bertanya, dia menjawab: Pak, saya hanya punya uang seribu. Bisakah saya membeli cilok itu dengan seribu rupiah?
Kemudian terlintas di pikiran saya, mungkinkah ini yang menyebabkan anak ini menyendiri? Apakah ia menyendiri karena tidak punya uang jajan?
Tanpa berpikir panjang, saya pun memberikan cilok itu tanpa meminta bayaran dari anak yang masih merupakan murid saya.
Singkat cerita, waktu pulang sekolah pun tiba. Sesampainya di rumah, saya pun berpikir, untuk besok, mungkin saya akan membuat cilok yang lebih banyak untuk dibagikan di dalam kelas saat saya sedang mengajar.
Keesokan harinya saya membawa banyak cilok untuk dibagikan kepada murid-murid yang saya ajar. Terus terang cilok itu saya jadikan sebagai penyemangat para murid dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya berikan saat akhir pembelajaran.
Ternyata... Benar dugaan saya.
Ada kepuasan batin ketika kita bisa mengasihi (menyantuni) dan berbagi dengan orang lain. Meski hanya dengan memberi cilok gratis kepada murid-murid, Â jujur, itu bisa membuat saya merasakan kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata biasa.
Apa yang saya rasakan saat itu adalah kebahagiaan saat melihat murid-murid semangat belajar dan ketika mereka bicara bahwa cilok yang dibagikan rasanya enak.
Sejak saat itu saya mendefinisikan kebahagiaan sebagai perasaan tenang dan senang saat melihat orang-orang di sekitar kita tersenyum, ceria, riang gembira, dan semangat ketika berbicara dengan kita. Selain itu, kebahagiaan juga rasakan ketika orang lain menerima pemberian kita dengan senang hati.