Mohon tunggu...
Robby Syahputra
Robby Syahputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - syahdu fajar dan sendu senja

mimpi telah menggenggam tanganku melewati malam-malam panjang jemari waktu lalu meremas nadiku saat pagi mengambilmu dari hidupku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Epilog Negeri Nusa

23 Desember 2020   19:17 Diperbarui: 23 Desember 2020   19:35 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecapi tua itu mulai berdebu. Senarnya yang tersangkut di balok kecil di kedua sudutnya agak mengendur. Warna coklat agak keemasannya mulai memudar. Sebuah peninggalan sejarahkah? Yang pasti ada banyak cerita di sana. tersimpan di dalam rongganya. Kenangan-kenangan indah, mengharukan, pahit ataupun getir sekalipun.

Nada-nada indah dimainkannya di suatu masa. Saat dimana kabut menutupi jarak pandang dan pendengaran. Masa itu semua berjalan apa adanya. Nada-nada indah adalah sebuah keharusan untuk didendangkan. Tiada nada sumbang atau lantunan menyayat hati yang bisa dimainkan.

Perhatikanlah! Sang dalang tidak lagi menjadi dalang di balik layar. Tanpa disadarinya, dia telah menjadi wayang yang digerakkan oleh orang-orang di belakangnya; di atas panggung hiburan sebuah Negeri Nusa. Ayo tontonlah!

Mulut-mulut yang menyanyikan lagu lain di tengah pertunjukan, dibungkam dan menghilang. Di tengah pertunjukan yang gegap gempita - ketika seluruh mata tersorot ke atas panggung -- lagu-lagu indah dilantunkan. Bait-bait merdu dinyanyikan. Tanpa penonton utama sadari, segerombol wayang di pinggiran panggung -- yang luput dari pengamatan -- memainkan lakon mereka sendiri. Lakon tragis penuh kekerasan.

Sambil menceritakan kepahlawanan Ramayana dan Shinta, atau sesekali lakon Gatot Kaca dan Hanoman; sang dalang berusaha memikat penonton dengan goyangan wayang di atas panggung. Wayang bergerak meloncat ke belakang, menyerang ke depan. Sesekali mengeluarkan jurus ampuhnya diiringi gemuruh suara latar. Satu demi satu lakon kepahlawanan disuguhkan, tanpa sadar penonton telah mengeluarkan lembar demi lembar dari sakunya, melebihi nilai yang seharusnya mereka bayarkan untuk pertunjukan itu.

Sesekali lakon kemakmuran dimainkan. Tanpa setetes airpun dibagikan. Kering meratap. Mata terpaku menatap. Hanya bisa menekan lidah dalam-dalam ke bagian bawah. Menelan ludah.

Bertahun bahkan berpuluh tahun lakon itu menghibur kita. Kecapi terus dipetik. Sesekali dikilapkan, senarnya dikencangkan. Busur tertarik ke belakang. Dalam sekejap anak panah itu melesat. Nyanyian dimulai kembali. Sinden bernyanyi iringi lakon sang dalang. Terkadang suaranya meninggi, sesekali direndahkan. Riuh gemuruh penonton membahana. Sang dalang dipilih lagi untuk membawa lakon kepahlawanan di Negeri Nusa. Terpilih ataukah tidak ada pilihan?

Sekelompok anak muda duduk di kursi penonton. Wajahnya seperti orang terpelajar. Manggut-manggut memperhatikan lakon di atas panggung. Cukup lamakah? Sepertinya saja, tapi hanya separuh, itu juga kurang. Waktu seakan terlalu cepat untuk darah muda mereka menggelegak, di tengah lakon yang terasa sangat lama dan mulai memuakkan.

Cemooh dilontarkan. Deruman kepahitan yang entah kapan mulai mereka rasakan. Ketidakadilan yang terpicu dari cerita, bahkan kekecewaan sebagai alih-alih para pemuda untuk bisa menghentikan lakon sang dalang.

Dari mana semangat pemuda-pemuda itu? Setelah berpuluh tahun menggerakkan wayangnya, sang dalang mulai letih. Kekuatannya tidak lagi seperti dulu, saat awal masa jayanya. Sejenak ia teringat, bagaimana ia membuat sekumpulan wayang pengacau untuk melesatkan panah, dan menguburkan impian para calon dalang di Negeri Nusa. Hingga akhirnya dia terpilih menjadi dalang. Untuk mengapus jejak lengkahnya, dia musnahkan seluruh wayang pengacau hingga akarnya. Yang tersisapun dibuatnya tidak diterima dimanapun mereka berada.

Mereka datang lagi, seakan tiada habisnya. Memaki, memberontak dan memaksa lakon itu dihentikan. Cukup sudah cerita dituturkan. Cukup sudah penonton dibungkam, dan dipaksa bergemuruh dalam pesta-pesta kemenangan sang dalang.

Akhirnya hari itu tiba. Pemuda berdiri tegak, mengangkat bendera. Teriakan kemenangan membahana. Pekikan kebebasan dinyanyikan. Negeri Nusa akhirnya bisa mengirup kebebasan; udara segar setelah sekian lama dibenam dalam ruang sumpek tempat sang dalang menggelar lakonnya.

Benarkah? Apa Negeri Nusa sekarang lebih baik? Apakah sang dalang pengganti lebih baik memainkan lakonnya? Mungkinkah para pemuda itu mengijinkan sang dalang membuktikannya? Atau mungkin akan langsung dicaci? Yang pasti kepercayaan di Negeri Nusa akan menjadi barang langka. Tidak akan ada lagi nada dukungan sepenuh hati. Hanya cemoohan yang terlontar yang disulut entah oleh siapa.

Sang dalang tua terlalu lelah. Bagai kecapi tua yang disisihkan. Kekuatannya memudar. Senarnya perlahan mengendur. Catnya mengelupas. Di ujung sisa waktunya, sang dalang harus menahan derita. Entah karena apa, biar waktu yang akan menceritakan sisanya.

Cerita sang dalang-dalang berikutnya akan muncul. Dalang-dalang yang akan dipilih lalu dijatuhkan. Negeri Nusa punya kisah sendiri untuk itu. Satu negeri dimana penontonnya saling berebut menjadi dalang, bagai orang lapar yang berebut makan.

Sang dalang tua dalam senja masih akan menderita.
Selamat datang di Negeri Nusa.

lembar kenangan

Yogyakarta, Mei 7th, 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun