Lebaran usai. Sudah saatnya mengembara kembali. Mencari ilmu. Demi kehidupan lebih baik.
Cerita ini mungkin sepele. Hanya perjalanan kecil yang dilakukan kebanyakan orang. Tapi kalau direnung kembali, begitu banyak hikmah di dalamnya: bagaimana Tuhan mendidik saya yakin kalau tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
Saya urung memesan tiket bus SAN tujuan Lubuklinggau – Yogyakarta karena terlalu mahal. Normalnya 475ribu, karena masih suasana lebaran, harga menjadi 600ribu. Hampir mendekati tiket pesawat, karena 600ribu itu belum dihitung biaya makan selama perjalanan dua hari dua malam. Dan, kalau suasana lebaran, biasanya rumah makan gila-gilaan mematok harga. Nasi Ayam bisa 27ribu; Nasi Ikan bisa 28ribu; Teh dingin maupun hangat bisa 7ribu; Aqua botol 600ml bisa 8ribu. Dihitung-hitung, selama dua hari dua malam itu saya dapat menghabiskan minimal 150ribu. Jadi, total 750ribu. Sedang tiket pesawat termurah (masih dalam suasana lebaran tanggal 28 Juli) adalah 865ribu. Beda tipis.
Tanpa pikir panjang, saya putuskan ambil penerbangan. Fix tanggal 28 Juli, melalui dua maskapai, yakni Lion Air dan Air Asia (booking via Traveloka). Untuk Lion Air jam keberangkatan 21.45 (PLG – CGK), Air Asia keesokan harinya yakni 05.50 (CGK – JOG). Sementara dari Lubuklinggau ke Palembang, saya naik kereta siang berangkat 09.30, sampai (tertera di tiket) 16.40. Ada waktu cukup buat check-in.
Namun sayang, rencana yang telah disusun di atas mulai mendapat ujian. Tanggal 27 (sehari sebelum keberangkatan), saya mendapat SMS dari Lion Air bahwa penerbangan dimajukan dari 21.45 menjadi 20.25. Artinya paling lambat saya check-in adalah 19.30, lewat dari itu counter ditutup. Sedang, perjalanan kereta, tidak bisa berharap tepat waktu.
Kecemasan mulai menghinggap. Tidur mulai tidak nyenyak.
Perjalanan Kereta (Lubuklinggau – Palembang)
Subuh saya bangun. Sholat berjamaah di Musholla. Pulang. Siap-siap. Lalu olahraga sebentar bersama orangtua (orangtua saya memang rutin berolahraga; kadang menjadi cambuk sendiri buat saya yang jarang). Siap-siap lagi. Sarapan. Dan berangkat ke stasiun.
Di stasiun, orang-orang sudah ramai. Saya menuju loket. Menukar tiket. Masuk. Mencari nomor duduk, lalu melihat-lihat di sekitar. Tak lama kemudian, dua bocah usia 5 dan 3 tahun mendekat. Tanpa rasa takut, dia bercakap-cakap dengan saya. “Om! Om! Saya punya Hp. Bagus!” Saya tersenyum lalu meladeni mereka hingga satu keluarga (ayah, ibu, anak) masuk ke gerbong di mana saya berada sambil ribut-ribut.
“Mamak harus tanggung jawab! Aku pengen naik mobil, bukan kereta!” si anak membentak (usia anak ini kira-kira 14 tahun).
“Iya. Tapi nanti. Ketika pulang!” jawab si ibu.
“Nggak mau! Pokoknya sekarang!” si anak tiba-tiba memukul ibunya. Seisi gerbong mendadak ramai. “Mati kau, kalau tidak sekarang!” Si anak menyerang lagi ibunya. Tapi si ayah mencoba melerai sambil menahan malu. “Pokoknya sekarang!”
“Dasar anak kurang ajar!” ibunya mulai marah.
“Kau tuh yang kurang ajar!” si anak makin jadi. “Pergi kau! Jangan dekat-dekat aku! Pergi!”
Si ibu pergi, lalu kembali lagi membawa petugas keamanan kereta. “Ini dia Pak! Tangkap saja anak ini! Kurang ajar nian!” jelas si ibu. “Kau tuh yang kurang ajar! Mati kau!” jawab si anak. Petugas itu pun mencoba melerai dan mendamaikan. Lima menit kemudian suasana dapat dikendalikan. Kereta mulai bergerak.
[caption caption="Muka Stasiun Lubuklinggau."][/caption]
[caption caption="Tukar tiket."]
[caption caption="Kereta Serelo II"]
[caption caption="Dalam Gerbong"]
Pukul 12.30 kereta tiba di Lahat. Sejauh ini kereta belum mengalami halangan berarti. Memungkinkan sampai di Palembang pukul 18.00.
[caption caption="Stasiun Lahat. Tahun 2006, saya pernah tertinggal kereta di sini. Ceritanya, saya pikir kereta bakal berhenti sekitar 30 menit. Maka itu, saya dan teman saya memutuskan sholat Dzuhur di Masjid luar stasiun. Ketika kembali, kami bingung kereta sudah tidak ada. Kata petugas, kereta sudah jalan 10 menit yang lalu. Sejak itu, saya tidak pernah keluar dari kereta lagi walau sebentar."]
Pukul 14.30 kereta sampai di Muara Enim. Dan, di sinilah kegaulan dimulai. Melalui pengeras suara petugas stasiun memberitahukan bahwa kereta baru akan bergerak lagi pukul 16.00 disebabkan ada antrean panjang di depan. Artinya, harapan untuk sampai di Palembang pukul 18.00 mustahil.
[caption caption="Kami terlantar di Stasiun Muara Enim. Setelah pemberitahuan keterlambatan, tiada putus dari mulut melantunkan Ya Ajib Ya Mujib."]
Betul, kereta memang bergerak lagi pukul 16.00. Lalu sampai di Prabumulih pukul 17.50. Dari Prabumulih ke Palembang masih menyisakan jarak 78 km (dua jam). Tidak akan mungkin tiba di Palembang pukul 19.00, bye-bye check-in.
Lebih menyakitkan lagi, petugas stasiun dengan entengnya memberitahukan kembali bahwa kereta ditunda keberangkatannya karena menunggu kereta dari Tanjung Karang (Lampung) selama satu jam. Alamak! Jam barapa sampai di Palembang? Bisa jadi pukul 21.00. Bye-bye penerbangan.
Dalam penantian, saya mencoba pasrah. Saya angkat telpon dan memberitahukan kepada orangtua bahwa penerbangan kemungkinan gagal. Tetapi, ayah saya malah bilang bahwa saya harus tetap ke bandara. “Iseng-iseng berhadiah,” katanya.
Pukul 19.00 kareta bergerak lagi. Lima belas menit kemudian, dari arah gerbong makan, petugas kereta datang dan membagikan satu buah Popmie plus Aqua 600ml sebagai kompensasi keterlambatan. Sambil memberi kompensasi itu, tidak henti-hentinya petugas meminta maaf. Katanya, kejadian ini jarang sekali terjadi.
Sempat berhenti di beberapa stasiun, kereta akhirnya tiba di Palembang pukul 21.00. Saya segera meloncat dari pintu dan berlari ke gerbang stasiun. Di sana telah menanti sohib saya, Hafiz, yang akan mengantarkan saya ke bandara.
Dari Stasiun Kertapati ke Bandara SMB II
Saya akan selalu mengenang budi baiknya. Tanpa dia, saya pasti gagal terbang. Dia sudah menunggu di stasiun pukul 19.30. Tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya selama menunggu saya itu. Dia juga satu-satunya yang mau mengantarkan saya ke bandara, dari sekian banyak teman yang saya hubungi di Palembang.
“Tenang kak. Aku yakin pesawat kakak delay.”
“Kok yakin?”
“Entah, yakin begitu saja.”
Hafiz menstarter motor dan menarik gas dalam-dalam. Selama perjalanan, kami sempat bertukar cerita. Ternyata dia baru diwisuda dan dalam kondisi senang-senangnya. Lain hal dengan saya, belum juga selesai. Huh!
Pukul 21.30 kami tiba di SMB II. Betul-betul mustahil. Penerbangan pukul 20.25, datang ke bandara pukul 21.30. Siapa pun pasti akan menganggap saya konyol.
“Fiz, kamu tunggu di sini. Saya coba masuk. Tanya-tanya.” Dan setelah masuk, Security menyambut saya. “Masih kan Pak, Lion Air ke Jakarta?” tanya saya.
“Masih Mas. Pesawat itu sedang delay.”
Rasanya, seperti mendapat sekarung emas. Saya segera ke counter check-in. Tapi tidak ada orang. Security yang mengetahui itu, insiatif memanggil petugas counter.
“Ada penumpang satu lagi!” kata Security kepada petugas counter. Saya serahkan tiket.
“Tunggu sebentar ya Mas,” kata petugas counter sambil menyalakan komputer dan melihat tiket saya. “Wah, sistem kita sudah shut down (saya mendadak lemas). Tapi jangan khawatir. Kita tulis manual saja.”
Petugas itu mengambil sebuah kertas, lalu menuliskan nama lengkap saya dan nomor bangku. “Bila Security di atas tanya, bilang sistemnya sudah shut down.”
“Ok. Siap!”
Saya berlari ke ruang tunggu. Sebelum masuk ruang tunggu, saya dicegat Security. Ransel saya diperiksa.
“Mas mau obeng?”
“Iya Pak!”
“Seharusnya masukkan bagasi.”
Saya diam, memasang wajah memelas. Petugas Security itu mengamati saya baik-baik.
“Sudah! Lain kali masukkan ke bagasi ya!”
“Iya Pak!”
Saya dibebaskan dan masuk ke ruang tunggu. Puji syukur, saya langsung dikasih sebungkus nasi rendang oleh Lion Air karena keterlambatan mereka. Duh, ini saya yang terlambat, bukan mereka! Hihihihi.
[caption caption="Ruang tunggu Bandara SMB II. Di ruang tunggu ini saya bertemuh gadis cilik campuran India-Palembang. Gadis cilik ini mahir sekali berbahasa Inggris. Bila sedang berbicara dengan Bapaknya, dia pakai bahasa India."]
[caption caption="Ini pesawat yang kami tunggu, JT-843"]
Perjalanan Pesawat (Palembang – Cengkareng)
Ternyata delay penerbangan Lion Air parah. Pukul 23.00 kami baru take-off. Artinya, satu jam saya menunggu di SMB II. Bagaimana penumpang lain, yang sudah datang lebih awal seperti pukul 19.00.
Setelah duduk mantap di kabin. Saya tidak bisa tidur. Entah kenapa. Barangkali merenungi semua yang terjadi. Oh Tuhan, begitu baiknya Engkau!
Akhirnya, pesawat landing pukul 00.10. Kami segera disambut shuttle bus Lion Air untuk diantar ke Terminal 1B. Dalam hati, asyik naik bus. Kalian tahu, kan? Saya penggemar bus. Miniatur bus saya di kos saja tiga: Rosalia Indah, Pahala Kencana, SAN.
Di luar terminal, ternyata masih sangat ramai. Padahal sudah pukul 00.30. Saya segera mencari Shuttle Bus (gratis) ke Terminal 3. Air Asia basecamp-nya memang di Terminal 3. Tak sampai 15 menit, saya tiba di Terminal 3.
[caption caption="Suasana di Terminal 3: masih sibuk. Padahal pukul 00.45."]
[caption caption="Kedatangan di Terminal 3. Tampak kursi penuh diisi penumpang yang menginap."]
Menginap di Terminal 3
Sebelumnya saya searcing di google membaca cerita orang-orang yang pernah nginap di bandara. Ternyata banyak sekali. Baik backpacker wanita maupan pria. Dan, paling bagus memang nginap di Terminal 3.
Setelah tiba di Terminal 3, saya duduk-duduk dulu sejenak di pelataran: mengamati situasi. Terminal 3 ternyata masih ramai, terutama di Kedatangan. Banyak sekali penumpang hilir mudik mencari taksi atau menuju pemberhentian Bus Damri. Selain itu, orang-orang yang transit (sama seperti saya) terlihat banyak membentang tikar di kursi-kursi yang ada. Mereka tidur pulas, walau terpapar angin deras.
Saya mudah sekali masuk angin. Maka itu, saya putuskan masuk ke terminal. Ternyata sama, juga ramai, walau tidak sederas di luar. Saya cari Musholla di lantai 1. Mushollanya bersih. Ruang tepat buat tidur-tiduran. Tapi sebelum itu, tak etis bukan kalau tidak melakukan tahyat masjid.
Selain saya ada juga yang menginap di Musholla lantai 1. Ada dua orang. Salah satunya saya sempat berbincang. Dia mengatakan bahwa dia akan berangkat ke Surabaya pukul 6 pagi. Maka itu, dari pada tidak terkejar, karena macet, dia memutuskan nginap di bandara.
Sebelum tidur, saya set alarm pukul 4 pagi. Waktu yang cukup buat sahur, sholat, lalu check-in.
[caption caption="Dalam Terminal 3."]
[caption caption="Musholla di Terminal 3 lantai 1: rapi dan bersih."]
[caption caption="Beberapa orang yang menginap di Musholla."]
Perjalanan Pesawat (Cengkareng – Yogyakarta)
Alarm berbunyi. Bangun. Sahur. Sholat. Lalu ke counter check-in. Ternyata sudah ramai. Setelah mendapat boarding pass (perlu diketahui, bagi penumpang Air Asia yang tidak memiliki bagasi harus check-in sendiri di mesin yang sudah tersedia), saya menuju ruang tunggu. Nah, masalah baru muncul. Saya dicegat Security.
“Coba keluarkan barang-barang dari ransel Anda?”
Saya sudah paham. Pasti obeng.
“Seharusnya ini dimasukkan dalam bagasi!”
“Tapi saya tidak punya bagasi Mbak,” jawab saya.
“Kalau begitu, Anda harus turun lagi ke bawah! Lalu jadikan ransel Anda sebagai bagasi. Kalau tidak obeng ini kami tahan!”
Saya mencoba memasang wajah memelas, seperti di SMB II.
“Cepat!” tiba-tiba saya dihentak. “Bapak berangkatnya pukul 05.50! Masih ada waktu.”
“Tapi Mbak!” saya masih berusaha merayu.
Tahu akan hal itu, Mbak Security langsung menuju laci dan memperlihat obeng-obeng yang pernah ditahannya. Aha! Saya mengerti. Tidak ada negosiasi lagi. Saya pun berlari ke bawah, dan menjadikan ransel sebagai bagasi. Tentu saja konsekuensinya saya akan berlama-lama menunggu ransel di Adi Sucipto.
Gerbang C5 telah dibuka. Kami masuk. Di luar, telah menunggu shuttle bus Air Asia. Asyik naik bis lagi.
Di dalam pesawat, saya berdampingan dengan sepasang muda-mudi asal Jerman (terdengar dari mereka bicara). Pemuda-pemudi ini tidak malu memperlihatkan kemesraan. Sepanjang perjalanan, tangan mereka selalu berpagutan. Amboi! Jadi ngiri. Saya kapan? Daripada nelan ludah, saya nikmati saja pramugari Air Asia yang super seksi memperagakan prosedur keselamatan.
[caption caption="Ngantri masuk pesawat."]
Adi Sucipto (Yogyakarta).
Sempat ngetem di landasan pacu selama dua puluh menit (alasan: antri), kami akhirnya turun. Dan benar, saya harus nunggu satu jam untuk mendapatkan ransel saya kembali.
Setelah dapat, langsung ke shelter TranJogja. Hanya Rp.3.600,- bisa sampai kos. Murah meriah. Daripada taksi bisa kena 80ribu. Ampun! Cukup untuk makan tiga hari.
Demikian perjalanan ini. Tentu banyak hikmah yang dipetik, bukan? Pertama, jangan pesimis. Kedua, zikir jangan putus. Ketiga, serah diri; biar Tuhan yang mengatur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H