[caption caption="Stasiun Lahat. Tahun 2006, saya pernah tertinggal kereta di sini. Ceritanya, saya pikir kereta bakal berhenti sekitar 30 menit. Maka itu, saya dan teman saya memutuskan sholat Dzuhur di Masjid luar stasiun. Ketika kembali, kami bingung kereta sudah tidak ada. Kata petugas, kereta sudah jalan 10 menit yang lalu. Sejak itu, saya tidak pernah keluar dari kereta lagi walau sebentar."]
Pukul 14.30 kereta sampai di Muara Enim. Dan, di sinilah kegaulan dimulai. Melalui pengeras suara petugas stasiun memberitahukan bahwa kereta baru akan bergerak lagi pukul 16.00 disebabkan ada antrean panjang di depan. Artinya, harapan untuk sampai di Palembang pukul 18.00 mustahil.
[caption caption="Kami terlantar di Stasiun Muara Enim. Setelah pemberitahuan keterlambatan, tiada putus dari mulut melantunkan Ya Ajib Ya Mujib."]
Betul, kereta memang bergerak lagi pukul 16.00. Lalu sampai di Prabumulih pukul 17.50. Dari Prabumulih ke Palembang masih menyisakan jarak 78 km (dua jam). Tidak akan mungkin tiba di Palembang pukul 19.00, bye-bye check-in.
Lebih menyakitkan lagi, petugas stasiun dengan entengnya memberitahukan kembali bahwa kereta ditunda keberangkatannya karena menunggu kereta dari Tanjung Karang (Lampung) selama satu jam. Alamak! Jam barapa sampai di Palembang? Bisa jadi pukul 21.00. Bye-bye penerbangan.
Dalam penantian, saya mencoba pasrah. Saya angkat telpon dan memberitahukan kepada orangtua bahwa penerbangan kemungkinan gagal. Tetapi, ayah saya malah bilang bahwa saya harus tetap ke bandara. “Iseng-iseng berhadiah,” katanya.
Pukul 19.00 kareta bergerak lagi. Lima belas menit kemudian, dari arah gerbong makan, petugas kereta datang dan membagikan satu buah Popmie plus Aqua 600ml sebagai kompensasi keterlambatan. Sambil memberi kompensasi itu, tidak henti-hentinya petugas meminta maaf. Katanya, kejadian ini jarang sekali terjadi.
Sempat berhenti di beberapa stasiun, kereta akhirnya tiba di Palembang pukul 21.00. Saya segera meloncat dari pintu dan berlari ke gerbang stasiun. Di sana telah menanti sohib saya, Hafiz, yang akan mengantarkan saya ke bandara.
Dari Stasiun Kertapati ke Bandara SMB II
Saya akan selalu mengenang budi baiknya. Tanpa dia, saya pasti gagal terbang. Dia sudah menunggu di stasiun pukul 19.30. Tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya selama menunggu saya itu. Dia juga satu-satunya yang mau mengantarkan saya ke bandara, dari sekian banyak teman yang saya hubungi di Palembang.
“Tenang kak. Aku yakin pesawat kakak delay.”