Ahok dinyatakan majelis hakim terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Sementara Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan Ahok tidak terbukti melakukan tindak penistaan agama sehingga hanya dikenai Pasal 156 KUHP dan dituntut satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
Pidato Ahok tersebut berbunyi "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu."
"Program ini (pemberian modal bagi budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok."
Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, menjawab sekaligus menganalisa apakah UAS ini bisa bernasib sama seperti Ahok. Menurutnya, ceramah UAS itu tidak memenuhi unsur pasal 156 A KUHP. Pasalnya, lanjut Suparji, ceramah UAS itu tidak ada unsur subyektif atau dengan sengaja menistakan agama. Sementara dalam Pasal 156 A KUHP harus ada niat untuk menodai agama.
"Yang dilakukan UAS hanya diskripriptif," kata Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Suparji menambahkan, ceramah UAS juga tidak memenuhi unsur Pasal 156 KUHP karena tidak ada unsur menghina golongan. UAS juga dinilai Suparji tidak bermaksud menyebar kebencian berdasar golongan rakyat Indonesia. Suparji juga berpandangan UAS tidak melanggar Pasal 156 dan 156 A KUHP karena ceramahnya disampaikan di dalam Masjid dan hanya bersifat untuk kalangan internal umat Islam.
Menurutnya, ceramah UAS ini berbeda dengan pidato Ahok. Dimana Ahok kata Suparji dengan jelas menyebut ayat dalam Al Quran. Konteksnya pun pidato Ahok lebih mengajak seseorang untuk tidak memilih pemimpin (Gubernur) dari kalangan umat Islam. Dan hal itu kata Suparji sudah menjadi keyakinan hakim dan sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Atas analisanya tersebut, Suparji meminta polisi tidak perlu memproses laporan tersebut dan menghentikan perkaranya karena tidak memenuhi unsur Pasal 156 dan 156 A KUHP. "Ya hentikan perkara karena tidak ada unsur pidananya," kata Suparji.
Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini juga berpendapat bahwa polisi akan mengalami kesulitan jika menangani kasus ini, karena kasusnya terjadi pada 2016. "Ya memang akan kesulitan penanganannya karena terkait alat buktinya," tuturnya.
Sementara alat bukti yang serahkan ke polisi hanya dokumen dan rekaman video yang viral tersebut. Suparji menilai alat bukti tersebut tidak cukup kuat untuk menjerat UAS. Apabila Polisi memaksakan untuk memproses laporan tersebut, tegas Suparji, juga percuma karena tidak memenuhi unsur pidana.
Suparji juga menghimbau kepada masyarakat untuk menghindari narasi yang sensitif yaitu terkait suku agama ras dan antargolongan (SARA) ke media sosial. Bahkan ia menyebut pihak yang menyebarkan video ceramah UAS tersebut bisa dijerat Pasal 28 ayat 2 UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun atau denda Rp 1 miliar. "Bisa dijerat UU ITE yang menyebarkan video ceramah UAS, seperti kasus Buni Yani," pungkasnya.