Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik, Sang Pengantar

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Refleksi HUT Ke-74 RI, Benarkah Hukum Sudah Memerdekakan Rakyat?

16 Agustus 2019   22:49 Diperbarui: 16 Agustus 2019   23:00 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap menjelang perayaan HUT RI 17 Agustus, Presiden menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang tahunan bersama DPR dan DPD di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta. 

Biasanya Presiden menyampaikan berbagai pencapaian kinerjanya selama satu tahun. Dalam pidato kenegaraan menyambut HUT RI Ke 74 yang disampaikan Presiden ke 7 RI Joko Widodo atau Jokowi hari, ada yang menarik untuk dibahas dari aspek hukum yang berujung pada pertanyaan "benarkah hukum sudah memerdekakan rakyat?"

Ada dua isu utama dari aspek hukum yang dapat menjawab pertanyaan di atas, yakni deregulasi dan debirokratisasi. Jokowi menyebut dalam pidatonya bahwa butuh untuk terus melakukan deregulasi penyederhanaan dan konsistensi regulasi. Dan juga harus terus melakukan debirokratisasi penyederhanaan kerja, penyederhanaan proses yang berorientasi pada pelayanan.

Lebih tegas lagi mantan Gubernur DKI Jakarta ini meminta dilakukannya reformasi perundang-undangaan secara besar-besaran. Yakni tidak boleh terjebak pada regulasi yang kaku yang formalitas yang ruwet, yang rumit, yang basa-basi, yang justru menyibukkan, yang meruwetkan masyarakat dan pelaku usaha. Inti dari regulasi adalah melindungi kepentingan rakyat, serta melindungi kepentingan bangsa dan negara.

Sebab itu, kinerja para pembuat peraturan perundang-undangan harus diubah. Bukan diukur dari seberapa banyak UU, PP, Permen atau pun Perda yang dibuat, tetapi sejauh mana kepentingan rakyat, kepentingan negara dan bangsa bisa dilindungi.

Pakar hukum pidana, Suparji Achmad, mengapresiasi pidato Presiden Jokowi tersebut. Namun deregulasi yang maksud Jokowi dalam pidato kenegaraannya itu sudah menjadi politicall will periode pertama pemerintahannya. 

Sebab itu, Jokowi dinilai Suparji sangat tepat kembali dikemukakan karena belum nampak hasilnya secara signifikan di implementasikan. "Konsistensi deregulasi belum otentik," kata Suparji Achmad saat dihubungi, Jumat (16/8/2019).

Suparji mencontohkan banyak paket kebijakan ekonomi pada periode pertama pemerintahan Jokowi yang tidak jalan akibat implementasi deregulasi belum nyata. 

Di bidang juga juga demikian bahwa masih belum berhasilnya melakukan perubahan aturan-aturan yang menyebabkan terjadinya egosektoral. "Jadi perlu didorong hukum agar mampu menjaga stabilitas politik dan ekonomi, sehingga tidak terjadi kebisingan publik karena masalah hukum," ujarnya.

Sehingga Suparji menyimpulkan bahwa deregulasi ini belum memerdekakan dan mensejahterakan rakyat. Pasalnya, tegas dia, mematikan perekonomian rakyat. "Ya betul belum memerdekakan rakyat karena masih ada regulasi yang membuat tidak cepatnya gerak perekonomian yang mensejahterakan," tuturnya.

Jokowi juga menyampaikan bahwa sepanjang Agustus 2018 hingga Juli 2019, DPR bersama-sama Pemerintah, telah berhasil menyelesaikan pembahasan terhadap 15 Rancangan Undang-Undang (RUU). Antara lain, RUU APBN, RUU di bidang perjanjian kerja sama internasional, bidang penyelenggaraan haji, bidang kesehatan, akselerasi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beberapa RUU lain untuk menyikapi dinamika pembangunan yang bergerak cepat.

Presiden Jokowi juga dalam debat Pilpres 2019 berencana akan membentuk badan legislasi nasional di periode kedua pemerintahannya.

Dari aspek debirokratitasi, mantan Wali Kota Solo ini meminta keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. 

Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Oleh sebab itu manajemen tata kelola serta sistemlah yang harus diubah.

Demikian pula ukuran kinerja aparat pengawasan dan birokrasi pelaksana. Tata kelola pemerintahan yang baik bukan diukur dari prosedur yang panjang dan prosedur ketat. 

Tetapi tata kelola pemerintahan yang baik tercermin dari prosedur yang cepat dan sederhana, yang membuka ruang terobosan-terobosan, dan mendorong lompatan-lompatan. Orientasi kerja pemerintahan, orientasi kerja birokrasi pelaksana, orientasi kerja birokrasi pengawas, haruslah orientasi pada hasil.

Hal ini juga berkaitan dengan pemanfaatan teknologi terbaru telah membuka peluang untuk mempermudah hal-hal yang dulu sulit, untuk mempermurah hal-hal yang dulu mahal, dan mempercepat hal-hal yang dulu lamban dan lama. 

Penyederhanaan prosedur dan pemanfaatan teknologi baru dalam bekerja harus pula disertai dengan penyederhanaan organisasi. Organisasi yang tumpang tindih fungsinya harus digabung.

Sistem peradilan kini juga berbasis elektronik sudah diterapkan di semua lingkungan lembaga peradilan. Para pencari keadilan sekarang secara online makin mudah mendaftarkan perkara dan melakukan pembayaran. 

Proses pemanggilan dan pemberitahuan sidang, serta penyampaian putusan peradilan juga dilakukan secara online. Bahkan, saat ini Mahkamah Agung (MA) sudah melangkah lebih jauh lagi dengan mengembangkan e-court menuju e-litigasi. Semua langkah inovasi ini harus kita apresiasi.

Perluasan akses bagi para pencari keadilan juga dilakukan oleh MA. Hingga akhir tahun 2018 lalu, MA telah meresmikan sebanyak 85 pengadilan baru di berbagai pelosok tanah air. Ada tambahan 30 Pengadilan Negeri, 50 Pengadilan Agama, tiga Mahkamah Syariah, dan dua Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dari berbagai langkah tersebut, MA berhasil mengurangi jumlah tunggakan perkara menjadi 906 perkara pada tahun 2018. Jumlah terendah sepanjang sejarah berdirinya MA. MA juga terus berbenah dengan melakukan beberapa langkah perbaikan, seperti  pembaharuan dalam tata cara penyelesaian gugatan sederhana dan pembaharuan di bidang manajemen perkara.

Para pencari keadilan dapat berperkara sekaligus memantau proses peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK), melalui berbagai aplikasi dan layanan modern berbasis teknologi informasi dan komunikasi. 

Sebagai penjaga konstitusi, selama setahun ini MK telah menguji 85 perkara dan memutus 52 perkara pengujian UU. Putusan-putusan MK tersebut turut mendukung upaya pemerintah dalam reformasi sistem perundang-undangan dan penataan proses legislasi.

Suparji yang juga Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini mengatakan debirokratitasi ini harus dilaksanakan secara konsisten. Artinya tidak perlu ada lembaga baru termasuk badan legislasi nasional karena akan menambah birokrasi baru. 

Lagi-lagi Suparji menekankan perlukan politicall comitmen dan politicall action sebagai solusi masalah ini. "Jadi tunjukkan secara kongkrit adanya revolusi mental sehingga birokasi lebih efisien dan efektif," kata Suparji.

Suparji menegaskan bahwa keberhasilan deregulasi dan debirokratisasi sangat ditentukan oleh kualitas dan mentalitas aparat hukum dan birokrat. 

Apabila hal itu tidak dapat dilakukan, Suparji pesimis deregulasi dan debirokratitasi dapat benar-benar memerderkakan rakyat. Ia juga melihat dalam waktu dekat hal ini belum nampak dapat di implementasikan secara nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun