Hello every body. Body ten pundi?
Lama tak menyapa dengan tulisan basi tanpa isi. Padahal banyak bahan ghibah yang sayang untuk dilewatkan. Yang jelas jangan soal politik. Terserah kono milih Anis opo Anus, Ganjar opo Genjer. Terserah kono people power opo people peler. Urusanmu.
Mending nggedabrus soal sistem zonasi yang diterapkan pemerintah sejak tahun 2017. Sampai sekarang masih saja banyak kisruhnya. Maksud hati memberi solusi tapi malah bikin frustasi.
Lha wong standarisasi sekolah yang berkwalitas belum beres kok aturan sudah diterapkan. Itu kayak band yang materi lagunya belum siap tapi dipaksa bikin album. Yo dadine album foto.
Samakan dulu kwalitas sekolah negeri yang ada seperti sekolah negeri yang bagus. Ya'opo carane, gak ngurus. Baru setelah itu sistem zonasi diterapkan.
Kecurangan oleh wali murid (memalsukan alamat dan lainnya) terjadi karena belum beresnya standarisasi.
Sopo sing gelem anake disekolahkan di sekolah negeri kampung yang fasilitasnya kacangan. Sekolahe mbladus, halamane gawe angon wedus. Gurune gak tau adus.
Sistem zonasi sebenarnya bagus kalau urusan standarisasi sudah beres. Kok bagus? Karena jangan sampai sekolah negeri hanya mau menerima anak yang pintar saja. Anak yang ndlahom pun boleh sekolah di sana.
Tugas sekolah itu membuat anak jadi pintar. Kalau sekolah negeri hanya menerima anak yang pintar, akhirnya dijual mahal, jadi ajang bisnis. Karena label favorit itu orientasinya bisnis. Brand jualannya adalah anak-anak pintar tadi.
Istilah favorit atau unggulan dari sekolah negeri harusnya nggak perlu. Biar hanya sekolah swasta yang memakai label-label itu.
Sekolah kalau sudah dilabeli favorit pasti harganya mahal. Sistem zonasi itu mengembalikan tujuan utama sekolah ---> mencerdaskan bangsa. Bukan hanya untuk mencerdaskan orang kaya, atau mencerdaskan anak yang sudah cerdas.
Sistem zonasi seolah-olah mematikan semangat berkompetisi. Buat apa-apa capek-capek belajar dan mendapat nilai yang bagus kalau ternyata untuk mendapat sekolah yang inginkan ditentukan oleh domisili.
Sebenarnya nggak begitu-begitu amat. Kompetisi tetap ada. Kalau semua yang ndaftar diterima, sekolah negeri bakalan overload. Selalu ada yang menang dan kalah.
Walaupun banyak juga sekolah negeri yang kekurangan murid. Dan itu ada yang sekolah favorit. Sampai akhirnya sekolah-sekolah itu digabung jadi satu.
Anak hebat itu tidak serta merta bisa dinilai hanya dari angka-angka hasil ujian. Walaupun itu juga bisa jadi parameter. Aku dulu naik kelas bukan dari nilai akademis, tapi karena aku ngeband (punya prestasi yang lain). Ojok ngomong sopo-sopo yo.
Untuk jangka panjang, sistem zonasi itu bagus. Tapi untuk sekarang sepertinya nggak yes. Pikiren dewe, aku gak eruh.
Bagusnya, dengan jarak yang dekat kegiatan belajar mengajar bisa lebih konduksif. Tahu sendirilah, bagaimana ruwetnya jalan raya saat jam sibuk.
Dulu pernah aku terlambat ke sekolah. Berangkat tergesa-gesa. Baru sadar masih pakai sandal jepit setelah lama berjalan. Akhirnya balik kucing. Untungnya jarak rumah ke sekolah dekat.
Bagaimana kalau jaraknya jauh. Ke tempat angkotnya jauh. Nunggu datangnya juga lama. Setelah dapat, jalannya kalem, itu masih ngetem berkali-kali. Sampai sekolah sudah pada wisuda.
Ndilalah di dalam angkot duduk bersebelahan dengan embok-embok bakul dari pasar. Mambu brambang, rebung, terasi, iwak asin, lengkap wis. Badan jadi terasa gerah karena berdesak-desakan. Keringat pun bercucuran. Bau minyak wangi di badan terkontaminasi rebung.
Salah seorang penumpang membuka kancing baju paling atas dan mengibas-ngibaskan krahnya. Dia menggerutu pelan, "Jancok.."
Nggak disangka ada mbok bakul yang nyahut, "Kulo nggih jancok mas."
Itu dulu, tahun 80'an. Sekarang sudah banyak yang ke sekolah naik motor. Angkot nggak laku. Cuman, jalanan tambah ruwet. Tapi tetep sama-sama jancok. Dulu jancoknya karena sumpek di dalam angkot, sekarang jancok karena banyak yang ngawur dalam mengendarai motor.
Yang jelas mau pakai sistem zonasi atau tidak, mencarikan sekolah negeri yang bagus buat anak itu ruwet, butuh perjuangan. Nek gak pingin ruwet, yo langsung nang sekolah swasta atau nggak usah sekolah sekalian. Dadi marbot ae, pahalane akeh.
Wis ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H