Sekolah kalau sudah dilabeli favorit pasti harganya mahal. Sistem zonasi itu mengembalikan tujuan utama sekolah ---> mencerdaskan bangsa. Bukan hanya untuk mencerdaskan orang kaya, atau mencerdaskan anak yang sudah cerdas.
Sistem zonasi seolah-olah mematikan semangat berkompetisi. Buat apa-apa capek-capek belajar dan mendapat nilai yang bagus kalau ternyata untuk mendapat sekolah yang inginkan ditentukan oleh domisili.
Sebenarnya nggak begitu-begitu amat. Kompetisi tetap ada. Kalau semua yang ndaftar diterima, sekolah negeri bakalan overload. Selalu ada yang menang dan kalah.
Walaupun banyak juga sekolah negeri yang kekurangan murid. Dan itu ada yang sekolah favorit. Sampai akhirnya sekolah-sekolah itu digabung jadi satu.
Anak hebat itu tidak serta merta bisa dinilai hanya dari angka-angka hasil ujian. Walaupun itu juga bisa jadi parameter. Aku dulu naik kelas bukan dari nilai akademis, tapi karena aku ngeband (punya prestasi yang lain). Ojok ngomong sopo-sopo yo.
Untuk jangka panjang, sistem zonasi itu bagus. Tapi untuk sekarang sepertinya nggak yes. Pikiren dewe, aku gak eruh.
Bagusnya, dengan jarak yang dekat kegiatan belajar mengajar bisa lebih konduksif. Tahu sendirilah, bagaimana ruwetnya jalan raya saat jam sibuk.
Dulu pernah aku terlambat ke sekolah. Berangkat tergesa-gesa. Baru sadar masih pakai sandal jepit setelah lama berjalan. Akhirnya balik kucing. Untungnya jarak rumah ke sekolah dekat.
Bagaimana kalau jaraknya jauh. Ke tempat angkotnya jauh. Nunggu datangnya juga lama. Setelah dapat, jalannya kalem, itu masih ngetem berkali-kali. Sampai sekolah sudah pada wisuda.
Ndilalah di dalam angkot duduk bersebelahan dengan embok-embok bakul dari pasar. Mambu brambang, rebung, terasi, iwak asin, lengkap wis. Badan jadi terasa gerah karena berdesak-desakan. Keringat pun bercucuran. Bau minyak wangi di badan terkontaminasi rebung.
Salah seorang penumpang membuka kancing baju paling atas dan mengibas-ngibaskan krahnya. Dia menggerutu pelan, "Jancok.."