pajak itu kadang nggak adil. Biaya dipukul rata. Motor dengan merk dan tahun keluaran yang sama, biaya pajaknya pasti segitu. Nggak perduli yang bayar orang mampu atau pas-pasan. Sama rata.
Kalau dipikir secara lugu,Tapi negara bakalan mumet kalau dipilah-pilah, biaya pajak bagi yang kaya dan miskin berbeda.
Motor lama atau baru, biaya ganti plat nomernya juga dipukul rata. Ada seorang teman yang punya motor super jadul. Beli second cuman enamratus ribu rupiah. Saat ganti plat nomer kena duaratus ribu rupiah. Dobolll.
Motornya kurang waras (enam ratus ribu kok minta waras), tiap hari ada saja masalah. Yang punya motor jadi ikutan kurang waras.
Pernah suatu kali saat asyik berkendara di jalan raya, tiba-tiba ban depan lepas begitu saja. Bautnya copot dan ilang. Di lain hari knalpotnya tiba-tiba copot dan jatuh ke aspal, klontang! tang..tang..tangg (ada echo-nya).
Pernah juga  saat pulang kantor malam hari, mendadak di tengah jalan rantainya putus. Karena nggak ada bengkel yang buka, rantai disambung dengan tali rafia.
Ajaibnya, walau rantai dikanibal dengan tali rafia, dia bisa pulang sampai rumah yang jaraknya tigapuluh kilometeran. Jalannya slow banget, duapuluh kilometer perjam.
Asli kayak film kartun, konyol banget. Hampir tiap hari mogok. Entah karena busi, platina, karburasi, macem-macem lah. Kalau sudah nyerah nggak bisa jalan, dengan bergaya pahlawan aku antar pulang dengan motorku yang jadul juga.
Rumahnya jauh banget, rasanya kok nggak sampai-sampai. Saat keluar melewati jembatan panjang aku tanya, "Iki wis masuk wilayah Jawa Timur yo?" Ternyata masih daerah Sukoharjo.
Itu kisah epic motor jadul yang selalu bikin aku cengengesan kalau mengingatnya. Woala ndes ndes, salut aku. Walau motor jadul nggak waras tapi masih mau bayar pajaknya, perpanjangan STNK, SIM, ganti plat nomer.
Begitulah gambaran rakyat jelata kalangan bawah yang rela direpotkan membayar pajak. Rakyat miskin diporotin tapi uangnya digelapkan oleh bajingan oknum pegawai pajak.
Makanya aku bisa maklum kalau banyak motor tua dari masyarakat kalangan bawah yang tidak dipajakan. Mereka itu membayar pajak dengan uang hasil kerja sangat keras, masih direpotkan dengan kolotnya birokrasi, eh ternyata uangnya dimakan sendiri oleh pegawai gembrot sialan.
Apalagi harta dari hasil ngutil uang pajak dipamer-pamerkan ke publik. Bajingan. Gak sopan blas.
Well, soal pamer atau flexing itu privasi tiap orang. Secara hukum nggak ada masalah, nggak kena pasal. Itu masalah akhlak, moral individu. Itu urusan pribadi, kalian semua nggak berhak ngurusi. Jarno bapak ibu'e sing ngurusi. Â Koyok awakmu gak pamer ae. Kalau kamu punya barang bagus pasti kamu pamerkan. Secara terang-terangan atau terselubung. Ala raimu.
Masalahnya yang dipamer-pamerkan nilainya jauh melebihi dari gaji dia yang seorang pegawai pajak. Itu mencurigakan dan bisa jadi masalah bagi negara. Rakyat nggak lagi percaya dengan instansi perpajakan. Rakyat dadi aras-arasen mbayar pajek.
Aku gak ngurus nek onok sing gak mbayar pajek, urusanmu. Ojok sampek ketemon. Sing penting ojok ngajak-ngajak koncomu. Ya'opo ya'opo negoro butuh duwik ndes. Gawe nembel dalan krowak terus sing bahane gak sesuai spek yang lagi-lagi karena dikorupsi. Wadoh ruwet negoromu le.
Wis ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H