Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Indahnya Puasa di Zaman Mercon

9 April 2022   12:35 Diperbarui: 9 April 2022   13:39 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : bombastis.com

Kemajuan teknologi memang memudahkan manusia. Semua bisa dilakukan dengan mudah dan cepat. Tapi sebenarnya teknologi canggih itu menjajah originalitas kita sebagai manusia.

Orang sekarang males menggerakan badan. Tidak lagi menggunakan tangan secara orisinil seperti burung yang menggunakan sayapnya untuk terbang. Nggak heran kalau populasi wong gembrot meningkat pesat. Sori, nggak ada maksud body shaming. Faktanya semakin  males gerak, semakin melar itu badan.

Wong mengong juga tambah mbludak. Nggak sedikit kita temui orang jalan menunduk sambil cengar-cengir sendirian di depan layar henpon.

Pagi siang malam nggak bisa lepas dari henpon. Bangun tidur yang dicari pertama kali pasti henpon. Sehari tanpa henpon bisa sakaw.

Suasana puasa sudah jauh berbeda. Sekarang setelah sahur  langsung berwhatsapp ria di grup yang ada. Perang stiker nggak jelas. Setelah itu molor sampai siang.

Dulu setelah sahur nggak langsung tidur. Setelah shalat subuh di masjid, langsung lanjut ngeluyur. Masih pakai sarung yang diselempangkan di pundak.

Apalagi di era 80'an - 90'an, di jalanan banyak yang main petasan atau mercon. Saat itu mercon masih halal (walau nggak ada labelnya). Siapapun bebas memiliki dan menyalakan. Barangnya sangat mudah didapat, murah dan melimpah.

Bahkan kalau mau, kita bisa merakit mercon sendiri. Kalau ada yang ukuran jumbo, biasanya itu hasil prakarya anak-anak kampung. Ada yang sampai ukurannya segede kaleng biskuit regal.

Gila men. Ledakannya dahsyat banget. Terdengar sampai ke seantero kampung. Kertas-kertas sisa ledakan berserakan memenuhi jalanan.  

Di samping mercon dengan media kertas, ada juga yang pakai bambu (mercon bumbung)  yang diisi minyak tanah atau karbit. Suaranya menggelegar tapi relatif lebih aman, paling alis keriting karena tersambar api. Beda dengan mercon kertas yang bisa merontokan jari akibat salah perhitungan waktu.

Mercon memang berbahaya, terutama karena bisa dirakit sendiri dengan ukuran jumbo dan bisa dibeli oleh anak  di bawah umur. Di luar itu semua, mercon adalah alat kegembiraan dan interaksi sosial yang nyata.

Orang Indonesia itu sejak dulu nggak sadar safety. Apalagi saat itu zaman susah, rakyat haus hiburan. Kegembiraan bermercon ria itu melalaikan akan bahaya ledakan yang bisa membuat jari tinggal separuh (kasihan, nggak bisa lagi berhitung dengan benar).

Sudah benar kalau pemerintah mengharamkan mercon. Karena urusan mercon ini sudah di level gila-gilaan. Ada yang sampai dadanya bolong dan rumahnya terbakar karena menimbun bahan mercon yang mudah meledak di bawah persis tempat tidur. 

---Mungkinkah Sundel Bolong itu korban ledakan mercon?---

Zaman mercon sudah berlalu, tapi bagaimanapun itu adalah kegembiraan sejati bulan Ramadhan di zaman minim hiburan dan teknologi canggih. Mercon adalah alat interaksi sosial yang benar-benar nyata tanpa kepalsuan emoticon medsos.

Dulu memang serba manual, tapi bagaimanapun suasana puasa dan lebaran lebih indah dibandingkan sekarang. Kesederhanaan dan keterbatasan membuat orang bisa saling akrab satu sama lain. Perasaan samire (sami kere) juga membuat kita jadi saling berendah hati dan empati. Yang jelas originalitas kita sebagai manusia masih terpelihara.

Wis ah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun