Bagiku salah satu amalan yang paling males dikerjakan saat bulan Ramadhan adalah sahur. Makan di saat ngantuk dan perut tidak lapar itu nggak asyik blas. Tapi kalau nggak sahur juga nanti malah tambah berat puasanya. Repot juga.
Bangun saat sahur itu berat bagi seorang pemalas kayak aku. Kayak ngangkat barbel seratus kilo. Walau sudah ada yang membangunkan, mengguncangkan badan sambil teriak sahur pakai "halo-halo" alias pengeras suara.
Aku pernah lama hidup di sanggar sebuah kampus yang nggak terkenal. Saat Ramadhan, selalu ada cerita yang terus terulang. Kalau pas sahur ada saja yang usil. Sebut saja Sunar, dia suka membangunkan temannya pas imsak kurang lima menit. Dia sendiri sudah makan sahur lima belas menit sebelumnya di warung terdekat.
Asli kurang ajar.
Aku yang tahu waktu imsak tinggal sejengkal, langsung ngebut menuju warung --biasanya masak sendiri, tapi ini lagi kaya. Ramai orderan spanduk dan baliho--. Pelari sprint kayaknya bakalan kalah kalau berlomba dengan orang yang lari dikejar imsak.
Sesampai di warung (yang paling murah) ternyata antriannya panjang. Kere bersatu!
Yang menyebalkan, ada pengantri yang rileks banget. Sudah tahu imsak tinggal lima detik tapi masih sempatnya mikir panjang, milih-milih sayur, membolak-balik lauk. Padahal di belakangnya antrian panjang. Bisa jadi ini anak priyayi atau pemain sinetron. Manja banget.
Karena kelakuan priyayi kere (pailit) tadi, banyak yang mukanya burek menahan emosi, termasuk aku. Ndang mbadok Nyo, selak imsak!, batinku.
Setelah melalui antrian panjang dan makanan tersedia, aku langsung makan dengan cepat sampai lupa baca Bismillah (padahal biasanya nggak pernah). Aku makan dengan kecepatan empat puluh kilo meter perjam tanpa rem. Gila men.
Seandainya makan nasi bisa pakai sedotan, aku pasti akan melakukannya. Nyatanya nggak bisa. Aku hanya bisa pasrah mengunyah dengan gaya tupai. Pernah lihat tupai makan nggak? Ya kurang lebih seperti itu, bahkan lebih parah.
Kegugupanku bertambah ketika dengar adzan subuh berkumandang padahal nasi masih setengah piring. Ya Alloh, aku salah opo yo.
Selanjutnya aku makan tanpa mengunyah. Gak ngurus. Dalam hitungan detik, piring pun bersih kinclong tanpa menyisakan nasi sebutir pun. Nggak diperlu dicuci, langsung taruh di rak piring.
Yess. Aku berhasil!
Sebelum membayar, aku mencari tusuk gigi yang tadi kulihat nggak jauh dari piringku. Kemanakah gerangan? Aku jadi mikir, jangan-jangan tadi ikut aku makan. What the ....!
Begitulah. Saat Ramadhan selalu ada insiden sahur gaya tupai. Sunar memang semprul, tapi aku nggak marah. Itu biasa bagiku, ada guyonan yang lebih kejam dan biasanya yang jadi korban hanya cengangas cengenges. Karena kalau sudah jadi saudara, hati sudah nyambung, itu jadi media keakraban.
Btw, menjalani puasa Ramadhan bersama di sanggar itu asyik. Lha wong makan pun bisa jadi suatu kegiatan yang memacu adrenalin. Gile lu Ndro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H