Iki serius rek.
Kupikir episode  soal  teroris  di negeri ini sudah tamat, tapi ternyata masih bersambung. Mereka beraksi tiap kali aparat lengah. Lha ya'opo, keamanan hanya diperketat sesaat setelah ada aksi teroris. Setelah dua tiga bulan kembali kendor jaya. Koyok sempak sing karete pedot.
Pelaku bom bunuh diri atau sejenisnya umumnya berasal dari aliran yang kolot. Nggak ada teroris jebolan NU atau Muhammadiyah. Makanya selama dua Ormas ini masih berjaya, negeri ini dijamin piss, damai. Kalau ada kisruh, itu sifatnya internal. Â Biasanya saat muktamar atau kongres.
---Itulah Endonesa, musyawarah kalau nggak ada lempar-lemparan kursi itu nggak greget. Makanya kalau ada kongres, pesertanya wajib pakai helm---.
Berdasarkan hipotesaku, kebanyakan yang mudah terpapar paham kolot itu orangnya introvert atau nggak hobi bergaul, yang kebetulan sedang mencari Tuhan (Tuhan kok dicari, memangnya sebelumnya ditaruh dimana?).
Ciri-ciri umum, mereka mengistilahkan tobat jadi hijrah. Kalau ngomong banyak memakai istilah Arab padahal bukan lulusan sastra Arab. Penampilannya lebih Arab dari orang Arab. Lebih mencintai Arab daripada negerinya sendiri. Bahkan meyakini bahasa surga itu bahasa Arab.
Kalau sudah jadi pengikut aliran kolot, yang introvert semakin introvert. Karena semakin menarik diri dari pergaulan sosial yang heterogen. Kalau bisa hanya berteman dengan orang yang semadzhab. Mereka nggak bisa ibadah di sembarang masjid. Dia rela memutar jauh mencari masjid yang sesuai dengan pahamnya, padahal di sebelah rumahnya ada masjid.
Kalau dia anak kampus, biasanya jebolan organisasi dakwah. Sori yo, ojok tersinggung. Karena sudah rahasia umum kalau organisasi seperti itu banyak yang disusupi paham Hizbut Tahrir atau sejenisnya. Banyak yang masuk jadi anggotanya langsung anti demokrasi, anti Pancasila.
Kalau dia bukan dari kampus, pasti lulusan pesantren atau pengajian berideologi kolot yang mengajarkan Islam sebagai agama perang. Yang berdelusi Perang Salib masih berlangsung. Â
Pada orang-orang yang baru menemukan Tuhan seperti itu harus hati-hati. Jangan sampai salah ngomong, karena mereka mudah tersinggung. Sulit untuk satu frekuensi dengan mereka. Bermaksud baik malah dicurigai.
Bagaimana nggak gampang tersinggung, lha wong hidupnya nggak fun. Dunianya sempit banget. Sedikit-sedikit haram, haram kok sedikit-sedikit.