Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Anak "Dikarbit" Orangtua

27 Juni 2020   14:40 Diperbarui: 30 Juni 2020   04:26 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku sih asyik asyik saja dengan aturan baru Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi bahwa calon murid yang usianya lebih tua lebih diprioritaskan diterima dari yang usia muda. Karena sekarang ini banyak anak yang masih bayi tapi sudah didaftarkan masuk SD.

Berharap anak cepat besar itu wajar, tapi yo ojok kebangetan. Umur belum genap 6 tahun sudah didaftarkan ke SD. Yang repot gurunya.

Pas si anak kebelet pup, gurunya yang ngurusi segala sesuatunya. Anak seumuran segitu jangankan cebok, makai celana sendiri saja belum bisa beres. Iso-iso peline kecepit resleting.

Banyak orang tua yang gak kanten (boso endonesane opo rek), kepingin anake ndang lulus, ndang kerjo. Anak pun dikarbit habis-habisan. Salah satunya dengan diikutkan program ngebut (akselerasi) agar cepat segera menyelesaikan studi.

Bagiku program akselerasi tak lebih dari bisnis sampingan terselubung pihak sekolah. SPP-nya mahal cuk. Anak ndlahom pun kalau ortunya berduit  bisa masuk program ini. Semua bisa diatur. Ojok ngomong sopo-sopo yo.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Kalau memang pihak sekolah berniat mencari bibit unggul, jangan kotori niat baik itu dengan bisnis. Kalau memang prestasinya luar biasa, otomatis masukan ke program akselerasi. Biaya SPP-nya sama dengan yang tidak masuk akselerasi. Ojok kabeh-kabeh dibisnis. Taek kon iku..huwehehe guyon mas.

Memang bangga punya anak abege yang sudah jadi mahasiswa. Itu bisa jadi indikasi kalau si ortu berhasil mendidik anak. Tapi dosennya yang pusing, karena mengajar anak kecil.

Menghadapi anak yang mentalnya masih labil itu riskan. Dikritik sedikit saja nangis. Mahasiswa seniornya juga mumet ketika mau ngospek (untungnya sekarang dihapus). Nggak tega memplonco anak kecil.

Lebih baik biarkan anak menikmati proses masa kecilnya. Karena itu tidak akan pernah terulang. Ortu jangan merenggut masa indah anak dengan memaksanya belajar keras demi memenuhi obsesi si ortu.

Banyak ortu yang terobsesi seperti itu. Anaknya dipaksa pandai. Semua kursus berbagai bidang studi diborong habis. Masa-masa bermain anaknya pun terbengkalai. Dan anaknya pun lelah secara fisik dan mental. Dadi rodok mengong.

Hidup nggak semata mengejar prestasi. Buat apa pandai tapi kalau jiwanya kering. Koyok Michael Jackson (MJ). Di usia dewasanya malah mainnya sama anak kecil. Membangun kebun binatang, taman bermain anak-anak, dan sejenisnya untuk menghadirkan kembali masa kecilnya yang dulu hilang.

FYI, saat masih anak-anak, MJ digembleng keras oleh bapaknya untuk dijadikan penyanyi. Dia bersama kakak-kakaknya disatukan bapaknya dalam kelompok vokal Jakson 5. Tiap hari kerjanya menyonyo eh menyanyi terus. Sampai nggak sempat lagi main gobak sodor, bentengan, jumpritan dan permainan anak-anak lainnya.  

Secara prestasi MJ memang sukses besar, tapi secara jiwa dia merasakan kekeringan yang luar biasa. Kaya tapi kalau jiwanya sakit ya apa asyiknya.

Hidup itu cari bahagia. Berhasil menjual jutaan kopi album tapi nggak bahagia, apa enaknya. Sik mending raimu. Kerjo serabutan tapi ngopi karo ngerokok lancar. Bendino cengengesan nongkrong nang wedangan. Hidup tanpa beban. Nikmat mana lagi kau yang dustakan.

Kembali ke soal umur.

Umur memang tidak boleh disia-siakan, tapi juga jangan dipaksakan. Apa pun itu harus disesuaikan dengan umur, mental, dan fisiknya. Konsumsi anak balita beda dengan konsumsi anak remaja, apalagi dewasa.

Anak SD tentu belum saatnya diajarkan secara detail soal reproduksi manusia. Yang repot gurunya, "Ketika anunya pria ketemu anunya wanita..saat nganu itulah..anunya pria mengeluarkan anu...akhirnya jadilah nganu... ".

Tapi sakarepmu rek. Nggak masalah anak dikarbit kalau memang otak si anak bisa ngejar dan mentalnya juga oke. Tapi kalau tidak begitu, anakmu iso gendeng.

Anak jangan dipaksa cerdas. Sak madyo ae. Bagus kalau otaknya cerdas, prestasinya selangit. Tapi sebenarnya dalam pergaulan sehari-hari kognitif itu nggak penting-penting amat. Yang penting hatinya nyambung.

Justru orang kampus yang terlalu cerdas itu omongannya sulit nyambung dengan orang kampung. Lha ya'opo, tukang nduduk sumur dijak mbahas rumus pitagoras.

Wis ah, ojok percoyo. Eh, regane karbit piro yo saiki?

-Robbi Gandamana-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun