Membaca buku "Srimulatism" karya Thrio Haryanto ini, pikiran jadi melayang jauh ke era 80-an, era kejayaan Srimulat. Di mana saat itu Srimulat jadi tontonan favorit di teve.
Acara lawak Srimulat selalu ditunggu. Ketika jam tayangnya tiba, orang berlarian masuk rumah nonton teve. Di rumah sendiri, nunut nonton di rumah tetangga, atau nonton di teve depan etalase toko barang elektronik.
Buku ini mengajak kita bernostalgia sekaligus mengenang grup lawak yang pernah sangat jaya di zamannya. Kalau Warkop DKI sukses merajai layar lebar. Sedangkan Srimulat merajai layar kaca dan panggung-panggung hiburan rakyat. Di masa jayanya, tiket pertunjukan selalu sold out.
Andai saja pertunjukan Srimulat diadakan di stadion, mungkin pohon-pohon besar di pinggiran stadion penuh dengan penonton yang kehabisan tiket atau yang cari gratisan. Zaman dulu tembok stadion itu  rendah, jadi kalau mau gratisan nonton bola, naik pohon saja.
Buku ini lumayan, daripada nggak ada bacaan. Maksudku, dengan membaca buku ini kita jadi tahu kisah Srimulat di balik layar. Dan memang grup lawak legend wajib dibukukan. Bagaimanapun juga Srimulat adalah inspirator bagi pelawak generasi selanjutnya.
Srimulat ngetop karena banyolan-banyolannya khas dan para pelawaknya juga ikonik. Sebut saja Gepeng, Tessy, Bambang Gentolet, Gogon, Mamiek, Timbul, dan banyak lagi.
Srimulat jadi hebat karena mereka pandai menertawakan dan mengolok-olok diri sendiri. Melawak tapi tetap menghormati akar budaya (Jawa), Tidak menyentuh kepala orang, saling ngasih kesempatan antar pelawak untuk melawak (tidak memotong lawakan orang), menghormati wanita, dan tidak menyinggung SARA.
Saking ngetopnya, di masa itu anak TK pun tahu Srimulat. Anak sekolah lebih tahu anggota Srimulat daripada pahlawan bangsanya sendiri.
Dan itu benar-benar terjadi. Ada seorang teman SD dulu yang membaca soal  ujian: "Sebutkan pahlawan yang berasal dari Surabaya?" Dia tulis di lembar jawaban: "Tessy, Bambang Gentolet, Asmuni.."
Parah.
***
Awalnya Srimulat adalah kelompok musik keroncong. Dalam setiap pentas mereka menyelipkan grup lawak saat jeda istirahat agar penonton tidak bosan. Bisa jadi karena musik keroncong bikin ngantuk, beda jauh dengan musik metal. Jadi sebelum mereka pulas ketiduran maka harus dikasih lawakan.
Nama Srimulat sendiri diambil dari Sri Mulat, seorang seniman serba bisa yang menyanyi dan menari sama bagusnya. Di era 50-60an, namanya berkibar kencang di negeri ini. Suara merdunya dalam menyanyi keroncong menghiasi panggung-panggung rakyat seantero Jawa.
Sri Mulat adalah seorang perempuan ningrat dari kawedanan Bekonang, Sukoharjo, Solo. Dia minggat dari istana karena nggak tahan selalu dikekang oleh orang tuanya yang kolot.
Dia dilarang ibu tirinya melanjutkan sekolah. Tidak boleh belajar menari atau seni tradisional yang lain. Bagi ibunya, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya berakhir di dapur. Pokoknya seorang perempuan Jawa itu harus manut, nunut dan katut.
Di samping itu, Sri Mulat juga kecewa melihat bapaknya yang seorang wedana itu suka ngoleksi selir. Seorang ayah yang sebelumnya sangat dia banggakan dan segani ternyata hobi main dokter-dokteran dengan gadis-gadis muda.
Jiwa feminis Sri Mulat berontak, dia nggak mau dikekang dan nggak tahan melihat perempuan-perempuan diperlakukan layaknya piala bergilir oleh bapaknya. Â Dia pun memutuskan lari dari rumah. Sri minggat.
Sri Mulat rela menanggalkan gelar ningratnya. Â Buat apa jadi bangsawan kalau hidup selalu tertekan. Buat apa kemewahan kalau tidak ada kemerdekaan. Â Dia lebih memilih jadi perempuan merdeka dan berdaulat---> seniman tradisional.
Untungnya selalu saja ada orang baik yang mau menampung dan membimbing bakat seni Sri Mulat. Bakal lain ceritanya kalau yang minggat Sanusi, anake tukang patri. Itulah untungnya jadi anak turunan ningrat (di masa itu).
Waktu terus berjalan, kemampuan olah vokal Sri Mulat dalam menyanyikan lagu keroncong semakin yahud. Kariernya meroket. Undangan menyanyi pun berdatangan. Sri pun mengembara dari panggung ke panggung di Jawa maupun luar pulau Jawa.
Di zaman itu kebanyakan konser Sri Mulat diadakan di pasar malam yang dicukongi oleh orang Tionghoa. Jangan bayangkan panggungnya kayak panggung konser Java Jazz, Hellfest, apalagi Rock In Rio  yang lighting dan soundnya  berkapasitas raksasa.
Asal tahu saja, pasar malam  adalah pusat hiburan favorit rakyat di masa itu. Tidak ada televisi. Gedung bioskop juga sangat terbatas jumlahnya. Makanya penonton pasti membludak. Panggung ketoprak, wayang orang, wayang kulit, ludruk selalu ramai. Rakyat sangat haus hiburan. Panggung-panggung rakyat sepi setelah digempur TV swasta.
Singkat cerita, di suatu pertunjukan Sri Mulat sepanggung dengan seorang gitaris keroncong keturunan Tionghoa yang bernama Kho Tjien Tiong  alias Teguh Slamet Rahardjo. Ndilalah kersaningallah Teguh jatuh hati dengan keajaiban olah vokal Sri Mulat dalam membawakan lagu-lagu keroncong. Teguh pun klepek-klepek.
Setelah berkenalan, Sri dan Teguh pun sepakat ber "bussiness of love" alias pacaran. Agar terhindar dari perbuatan tak senonoh antar lawan jenis, mereka berdua pun menikah. Saat itu umur Teguh terpaut 18 tahun lebih muda dari Sri Mulat. Kok yo gelem.
Mereka berdua pun membentuk semacam wadah pertunjukan seni yang bernama Gema Malam Srimulat. Mereka melanglang buana dari kota ke kota di Jawa. Sampai suatu hari Teguh punya gagasan membentuk grup lawak untuk mengisi jeda pertunjukan, agar penonton tidak bosan.
Setelah mengalami pasang surut, ganti personel, dan berganti nama menjadi Srimulat saja. Srimulat dibubarkan Teguh di tahun 1989. Penonton sudah berpaling ke teve swasta yang secara massif dan tersruktur menawarkan hiburan yang sangat fresh di kala itu. Sebelumnya selama puluhan tahun nonton teve pemerintah isinya cuman propaganda Orba.
Gogon berinisiatif membuat reuni di tahun 1995. Dan ndilalah reuninya sukses besar! Srimulat berjaya kembali. Indosiar pun mengontrak mereka (1995-2003).
Setelah itu vakum beberapa tahun. Â Tahun 2006 dikontrak lagi sampai pelawaknya dipanggil satu-satu oleh Tuhan. Syukurlah yang telinganya budek, tidak mendengar saat dipanggil Tuhan.
Selama vakum, banyak dari anggotanya yang dulu pelawak profesional ganti profesi jadi pecandu profesional. Tapi itu sudah berlalu (semoga), karena beberapa diantaranya sekarang malah jadi aktivis GPAN (Generasi Peduli Anti Narkoba).
Begitulah cerita singkat tentang Srimulat yang berkontribusi menjadi pelipur lara bangsa dengan tawa. Namanya akan selalu dikenang oleh para penikmat dan pendekar tawa berikutnya. Srimulat nggak cuman sebuah grup lawak tapi sudah jadi sebuah genre atau aliran, Srimulatism.
-Robbi Gandamana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H