Ketika kutegur dianya nggak nanggepi, eh malah ngilang. Embuh sik urip opo ora areke. Mugi-mugi jembaro kubure. Aku se ikhlas ae, sing uwis yo uwis. Tapi ojok dibaleni maneh. Sepak ndasmu..huwehehehe guyon mas.
Kembali ke soal simbol agama.
Aku menjauhi simbol-simbol agama bukan karena minder dengan agamaku. Tapi karena tahu diri.
Cak Nun pernah cerita saat di Suriname, negara yang banyak dari warganya keturunan Jawa.  Ceritanya Cak Nun tanya pada salah seorang dari mereka, "Opo kowe isih Islam?," Yang ditanya pun menjawab serius, "Ojo! Islam kuwi apik, aku ojo Islam. "
Maksudnya dia nggak Islam karena nggak mau merusak citra baik agama Islam karena dia merasa masih belum benar tabiatnya.
Dia adalah contoh orang yang biso rumongso. Bisa jadi dia adalah muslim, hanya saja dia nggak ingin keIslamannya mendapat pengakuan dari orang lain. Cukup Tuhan saja yang tahu.
Kira-kira aku ingin seperti itu. Cukup Tuhan saja yang tahu dengan pasti aku Islam atau tidak. Biarlah agama jadi urusan dapur, nggak perlu dipajang di ruang tamu. Yang penting saat ada tamu datang disambut dengan baik.
Simbol Islam itu banyak jenisnya. Bisa jadi jilbab masuk kategori sebagai simbol Islam. Berani berjilbab, harusnya berani menjaga nama baik jilbab. Kalau mau berbuat hal yang tak senonoh selalu ingat jilbabnya. "Wadoh iyo, aku jilbaban. Gak sido maling rantang wis.. "
Makanya aku nggak pernah memaksa anak istriku berjilbab kalau belum mantep hatinya. Aku hanya tegas kalau soal shalat dan rukun Islam yang lain. Kalau soal jilbab, aku cocok dengan pehamamannya Quraisy Shihab, Gus Dur atau Cak Nun.Â
Beliau-beliau ini tidak pernah memaksa anaknya berjilbab. Soal kenapanya, tanya angsung ke orangnya. Nek aku sing jelasno engkok malah keliru. Pendangkalan aqidah.
Berjilbab harusnya karena Allah, bukan karena disuruh bapaknya atau sungkan dengan lainnya yang pada berjilbab. Â Apalagi tugasnya manusia itu cuman mengajak atau mengingatkan, tidak memaksa atau memerintah. Hidayah seratus persen kuasa Allah.