Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Etika Lebih Penting daripada Fikih?

20 Mei 2019   14:25 Diperbarui: 20 Mei 2019   16:22 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah dapat kiriman buku lagi dari penerbit Noura (group Mizan). Termasuk rezeki iki rek. Zaman sekarang ilmu  itu rezeki yang tidak diakui. Tapi gak popo. Oh iya, kebetulan aku yang nggambar covernya (lumayan yo).

Di dalam buku sederhana ini, Nadirsyah Hosen atau yang lebih dikenal dengan Gus Nadir cukup piawai mengurai kesempitan-kesempitan berpikir. Kyai muda ini memang smart, bekgron keilmuannya nggak diragukan lagi. Pendidikan formal dan non formal dia kuasai dengan baik (baca di Wikipedia, nggolek enake tok ae koen iku).

Gus Nadir di sana cukup gencar mendakwahkan ajaran Islam yang lentur, luwes dan luas. Dan sekarang dia dicap Liberal oleh kaum Nganu. Wis tau. Biasane yo ngono. Kalau mengajarkan keluwesan dicap Liberal, tapi kalau mengajarkan kekakuan dicap radikal. Podo ae. Mending nggak usah cap-capan, dilakoni ae. Sing penting gak ngisruh.

Islam aliran sempit ternyata nggak cuman menjalar di Indonesia, tapi juga menjangkiti Australia. Di buku ini Gus Nadir menceritakan pengalamannya bergaul dengan sesama muslim dari berbagai negara saat menuntut ilmu di kampus ternama di negeri kanguru itu.

Islam itu agama yang dimudahkan, tapi malah dibikin sulit. Purifikasi (pemurnian) yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikutnya disebut Wahhabi) telah menjalar kemana-mana. Di Australia muslim jenis ini biasanya dari Pakistan dan atau negara-negara Timur Tengah. Mereka begitu reseh menyikapi hal yang sederhana, menjadikannya ruwet. Agama jadi kayak militer, kaku mekengkeng.

Misalnya soal halal haramnya makanan atau minuman. Saat acara makan-makan, tamu (muslim) yang hadir masih sempat-sempatnya tanya pada tuan rumah (yang juga muslim), "Ini daging ayamnya beli dimana?", "Yang menyembelih pakai menyebut nama Allah nggak?", "minyaknya pakai minyak babi nggak?", dan seterusnya. Gak sopan blas.

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu harusnya nggak sopan ditanyakan. Mengingat yang bikin acara (tuan rumah) adalah seorang muslim dan yang disajikan pun jelas-jelas daging ayam (halal). Tinggal mbadok ae kok yo leren nggambleh disik.

Aku dulu saat makan siang, makannya di warung seorang Nasrani. Tapi nggak ada pikiran sama sekali untuk nanya proses masak masakannya. Aku percoyo ae. Sakarepmu kono nggorenge karo minyak jelantah opo minyak tawon. Sing penting segone akeh dan murah. Sip wis.

Etika harusnya lebih didahulukan daripada fikih. Menjaga perasaan tuan rumah itu jauh lebih baik. Nabi sendiri selalu berprasangka baik saat dikasih makanan dari non Muslim. Ketika ditanya sahabatnya soal kehalalan makanan pemberian non muslim tadi, Nabi menjawab singkat, "Baca Bismillah dan makanlah." Beres.

Nggak cuman soal makanan. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang dibikin rumit dan jadi ribut. Salah satunya masalah klasik mengucapkan selamat Natal. Ternyata sama seperti di sini. Bakalan tiap tahun (sampai kiamat) muslim di negeri ini akan terus ribut mempersoalkan pengucapan selamat Natal.

Padahal mengucapkan selamat itu cuman soal tata krama, interaksi sosial sesama anak bangsa. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan teologi. Kalau kamu mengucapkan selamat pada temanmu yang menikah, bukan berarti kamu setuju dengan pilihan pasangan dia. Sesederhana itu.

Islam itu asline agama sing simpel. Dakwah nggak pakai dalil yo iso. Semakin tinggi maqam seorang ulama, malah semakin jarang menggunakan dalil saat berdakwah. Lihat saja Gus Mus. Walaupun sangat paham dalil, beliau sangat jarang ndalil. Ndalil kalau terpaksa. Sing kakean ndalil itu biasane ustadz anyaran, biar terlihat 'yes'.

Menurutku dalil itu melegitimasi kebaikan. Selama kamu berbuat baik, perbuatan baik itu pasti ada dalilnya. Dalilnya bisa sama persis dengan apa yang kamu perbuat atau bisa berupa substansi.

Bermedsos itu nggak ada dalilnya, tapi menyebarkan kebaikan itu ada dalilnya. Jadi nggak masalah medsosan asal untuk kebaikan. Gak pamer ae. Sembarang dipamerno. Akhirnya jadi "bintang porno". Karena memposting sesuatu yang harusnya tidak elok untuk diposting ke publik. Aib keluarga dijadikan status fesbuk. Remuk.

Buku ini cukup oke untuk jadi bahan rujukan. Sing uteke lemot mungkin agak susah menelaah buku ini (termasuk aku), banyak istilah Arab dan atau mengutib kitab-kitab hasil ijtihad ulama terkenal.  Aku lulusan IKIP Ndes. Tapi gak popo rek, kalau ada beberapa yang nggak paham, minimal kamu bisa ambil poinnya yang terpenting.

Wis ngene ae.

-Robbi Gandamana-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun