Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Cap Jongos

3 Juli 2018   11:35 Diperbarui: 3 Juli 2018   19:53 2784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(M Latief/KOMPAS.com)

Aku nggak tahu, sejak kapan bangsa ini jadi bangsa yang inferior, merasa rendah diri, minderan. Hobinya memuja dan meniru negara Barat atau negara yang menyebut dirinya maju.

Kita itu punya karakter, budaya, etos kerja, ketahanan dan kondisi ekonomi yang berbeda dengan mereka. Jadi tidak semua hal bisa kita tiru. Seandainya ngeyel meniru pun nggak akan bisa sama persis. Diapak-apakno raimu iku yo koyok ngono iku, Rolex (risiko orang jelex).

Sistem zonasi di dunia pendidikan kita adalah salah satu kebijakan yang diadopsi dari negara-negara mapan. Oke, sistem zonasi sebenarnya bertujuan bagus : pemerataan anak cerdas, mengurangi kemacetan lalu lintas karena sekolah nggak jauh dari rumah, mempermudah pemerintah dalam pemetaan kebutuhan siswa di daerah, dan lainnya.

Tapi menurutku, sistem zonasi itu prematur kalau diterapkan di kondisi Endonesyah saat ini. Karena perlu bertahap untuk memberlakukannya. Benahi dulu mental pendidiknya yang korup (uang dan waktu), etos kerja yang payah, kualitas sekolah yang jauh dari layak di pelosok daerah, dan banyak lagi.

Benahi juga mental nepotis. Hapus aturan yang memberlakukan anak guru otomatis dapat satu poin. Juga anak dosen yang dapat jatah masuk PTN. Memangnya hanya guru saja yang berjasa pada negara. Semua bidang pekerjaan berkontribusi pada negara. Mau tentara, buruh, sopir, pemulung, semuanya berjasa pada negara.

Harusnya sejak jauh-jauh hari guru dari sekolah negeri favorit dioplos ke sekolah-sekolah kacangan, nggak cuman Kepseknya doang yang di-rolling. Setelah beberapa tahun terlihat hasilnya, baru sistem zonasi diberlakukan. Nggak seperti sekarang, banyak siswa jadi korban, kelinci percobaan.

Tapi bagaimanapun, kita ini beda dengan mereka. Rakyat Endonesyah itu jenis manusia fighter. Mereka terbiasa survive dari segala kondisi tanpa berharap pada negara. Bandingkan dengan mereka yang hidup di negara mapan. Di sana pengangguran saja digaji oleh negara. Sedangkan di sini, kerja keras pun gajinya kadang nggak layak.

Kalau di sini pengangguran digaji negara, mentalnya bakalan beda, nggak bakalan mumet lagi milih-milih sekolah. Sekolah mana saja nggak masalah. Karena jadi apa pun pasti dijamin negara. Hidup rileks tenguk-tenguk nyekeli manuk. Bodi melembung, perut mblendung menggelambir. Bangun pagi-pagi bingung, "Lho? Peliku nang endi yo?" (ketutupan weteng).

Di sini, orang kere membangun rumah reyot dari anyaman bambu (gedek) dibiarkan oleh negara. Sedangkan di negara mapan, mbangun rumah gedek reyot dilarang, karena merusak citra dan martabat pemerintah, bikin malu negara.

Kesejahteraan hidup di negara ini tidak dijamin. Salah satu harapan yang bisa merubah nasib atau mendongkrak status sosial ekonomi suatu keluarga adalah memberikan pendidikan yang tinggi buat anaknya. Pendidikan tinggi adalah warisan paling tinggi dibandingkan kebon jati.

Saya juga nggak suka dengan istilah "sekolah favorit" atau "sekolah unggulan". Karena semua anak berhak mendapat pendidikan yang layak. Sekolah tidak boleh membedakan anak pintar dan pandai. Tujuan anak sekolah itu biar pandai, lha kok syaratnya sekolah harus pandai. Anak disekolahkan biar bisa membaca, lha kok syarat masuk sekolah harus bisa membaca.

Tapi pada kenyataannya sekolah yang favorit itulah yang sarananya mbois. Jika pendidikan anak tidak digenjot sejak kecil, tidak diberikan yang terbaik, biasanya akan keteteran di masa selanjutnya. Kebanyakan hanya berakhir sampai SMA, nggak sanggup melanjutkan kuliah. Perguruan tinggi negeri hanya mau menerima lulusan yang nilainya bagus.

Terus kalau hanya mengandalkan ijazah SMA, mau jadi apa kau nak? Kere all the way.

Di negeri ini, ijazah itu kayak harta karun Nabi Sulaiman. Tanpa ijazah, akan terpuruk jadi sampah, merusak pemandangan. Dan yang membuat ijazah itu bernilai adalah nilai-nilai ujian yang tertulis di dalamnya.

Memang banyak orang kaya atau orang besar yang tidak berpendidikan tinggi. Tapi, gemblung kalau itu dijadikan rumus obyektif. Coba lihat sekelilingmu, dari hari ke hari persaingan semakin keras. Wong ndlahom tersingkir. Hal yang masuk akal sekarang adalah menabung untuk biaya sekolah tinggi anak, tidak untuk beli gadget canggih.

Jadi sistem zonasi yang memaksa siswa sekolah sesuai dengan zona di mana dia tinggal itu 'mengerikan'. Beruntunglah mereka yang tinggal di kota sezona dengan sekolah negeri mbois dalam kota. Apeslah orang yang tinggal di zona kumuh pinggiran kota yang terpaksa sekolah di sekolah negeri kumuh jaya.

Yang ada uang langsung cabut ke sekolah swasta dengan kwalitas sip. Sedang yang kere terpaksa merongos sekolah di sekolah cap jongos. Walau aku ekonomi lemah tapi nggak tega menyekolahkan anak di sekolah negeri kumuh. Apa bisa nyaman dan aman belajar di tempat seperti itu.

Kadang seberapa besar berbaktinya orang tua pada anak itu bisa dilihat dari pilihan sekolah buat anaknya. Berikan yang terbaik buat anak. Soal nanti dia jadi orang kaya sukses atau tidak, itu urusan Tuhan. Manusia hanya diwajibkan berjuang, tidak diwajibkan sukses. Karena yang dinilai Tuhan adalah perjuangannya (istiqomah), bukan hasil akhirnya.

Well, pendidikan terbaik di dunia saat ini memang di Finlandia, tapi tahu nggak kalau mereka menerapkan sistem pendidikan Taman Siswa ala Ki Hajar Dewantara. Pendidikan dengan konsep siswa belajar dengan gembira seperti di taman bla bla bla bla tanyakan pada ahli pendidikan, aku nggak ahli pendidikan.

Jadi menurutku lebih baik jadi diri sendiri. Tanpa niru-niru sistem dari luar pun kita sebenarnya punya sistem pendidikan yang mbois seperti yang pernah oleh para tokoh pendidikan pendahulu kita. Cuman kita ini inferior, minderan, dan akhirnya itulah yang membuat negeri ini lwucwu.

Dan memang cari ilmu itu tidak hanya sekolah, dimana-mana saja ada, apalagi ini zamannya internet bla bla bla bla. Duh, tulisanku kok dowo se rek. Yo wis ngene ae.

-Robbi Gandamana-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun