Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka Itu Mitos

15 Agustus 2016   15:34 Diperbarui: 27 Agustus 2016   07:28 2312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara hakikat, merdeka itu tidak ada. Dunia adalah penjara. Selalu ada batas, aturan yang tak bisa dilanggar. Dalam hubungan dengan Tuhan, manusia bisanya hanya menyerah. Ap­­a pun kehendak, keputusan, takdir Tuhan, mau nggak mau harus mau. Nek gak gelem yo ojok urip.

Manusia diberi kesempatan untuk mengubah nasib, tapi hasil akhir tetap Tuhan yang menentukan. Karena itulah yang dinilai Tuhan pada manusia adalah usahanya bukan hasil akhirnya.

Ruang lingkup merdeka bagi manusia itu sebatas jalan menuju batasan. Yang dituju adalah batas. Kalau manusia tak tahu batasnya, dia akan terjerumus, lebih rendah dari hewan : Menikah sesama jenis, kawin sama wedus. Jadi selama Tuhan nggak marah, silakan merdeka.

Jangan marah kalau film disensor karena ada adegan tak senonoh pria dan wanita telanjang bulat di atas ranjang. Kalau ingin tak ada sensor, donlot filmnya dan putar sendiri di laptop. Masalah benar atau salah, itu urusan pribadi ente dengan hidup ente.

Ngomong soal sensor, jadi ingat teman yang nonton film 'panas' di bioskop.  Saat ada adegan panas eh, lha kok disensor. Langsung doi teriak keras: "Jancok! Gak sido ngaceng!"

Sensor itu perlu, karena kita punya regulasi adat budaya dan agama yang berbeda dengan bangsa lain. Yang penting nggak lebay. Sekarang, film kartun penuh dengan sensor yang ambigu. Orang memerah susu sapi, susunya sapi disensor. Semprul..

Kata 'merdeka' spesifikasinya dipakai untuk apa pun yang berkaitan dengan hidup berbangsa dan bernegara. Tapi sekarang makna kata 'merdeka' meluas. Merdeka di-sama arti-kan dengan kebebasan. Akhire wong sing metu tekan toilet bisa menyatakan diri merdeka. "Merdeka! wetengku wis enting cah, " jare koncoku.  Edan ya'e..

Dalam konteks kehidupan bernegara, kita sudah merdeka. Terbebas dari penjajahan bangsa lain. Berdaulat, bebas menentukan hidup dan nasib kita sendiri. Tapi di luar konteks itu, kita belum merdeka.

Di segala bidang, negeri ini masih dijajah oleh persekutuan kolonialis global. Kita selalu diadu domba, dilarang dewasa, dibuat minder dan dibodohkan. Begitu sering kita dengar pertikaian antar umat karena fanatisme buta. Terutama agama : Syiah dengan Sunni, Islam-Kristen dan lainnya.

Di dunia ini agama Islam itu cuman satu. Yang banyak itu adalah madzhab atau aliran. Apesnya ustadz-ustadz sekarang mengenalkan madzhab sebagai agama. Madzhad yang satu menuding sesat madzhab yang lainnya, akhire gegeran terus.

Padahal semua orang pasti menganggap madzhabnya paling benar. Tanpa dialoq, orang yang dianggap sesat langsung disikat. Orang tersesat kok tidak ditunjukan jalan yang benar, malah dipentungi, dibakar rumahnya dan diusir dari tanahnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun