[caption caption="ilustrasi oleh Robbi Gandamana"][/caption]
Menyebut nama Maiyah pastilah tak bisa lepas dari sosok Cak Nun. Begitu sebaliknya. Karena Cak Nun lah figur panutan sekaligus perintisnya sejak tanggal 31 Juli 2001 di malam menjelang digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001.
Maiyah yang arti sempitnya adalah kebersamaan bersama Allah, dibentuk atas refleksi dari kondisi negeri yang remuk jaya. Saat itu Cak Nun secara khusus menggelar acara “Sholawatan Maulid” di kediamannya bersama sahabatnya dari Kiai Kanjeng (kelompok musik yang sering mengiringi Cak Nun berdakwah, dipimpin Nevi Budianto)
Jamaah Maiyah banyak tersebar di pulau Jawa bahkan Indonesia. Lewat lingkaran (pengajian) Maiyah : Kenduri Cinta (Jakarta), Mocopat Syafaat (Jogyakarta), Phadangmbulan (Jombang), Bangbang Wetan (Surabaya), Gambang Syafaat (semarang), Juguran Syafaat (purwokerto) dan Maiyahan rutin yang berlangsung di beberapa kota di Indonesia. Yang jelas Pulau Sempu nggak masuk hitungan.
Walau disebut pengajian, tapi yang hadir nggak semuanya muslim. Seperti kata Cak Nun, "Acara ini bukan acara khusus untuk orang Islam, tapi untuk semua manusia yang Islam dan yang tidak Islam, Manusia waras dan manusia yang tidak waras, bahkan Jin, Setan, Dhemit, Gendruwo, kalau memang berminat untuk jadi baik akan disambut dengan tangan terbuka".
Maiyah bukan madzhab, aliran, sekte, Ormas atau gerakan yang akan menggulingkan pemerintah. Tapi Maiyah adalah majelis ilmu yang bersama-sama mencari dan merumuskan kebenaran, tidak mencari siapa yang benar tapi apa yang benar.
Walaupun awal terbentuknya Maiyah diprakarsai oleh Cak Nun, tapi Cak Nun sendiri memposisikan dirinya sama dengan jamaahnya (Maiyah). Cak Nun tak ingin dikultuskan bahkan melarang umatnya untuk taat sama dia, "Awas kalau taat sama saya..tak tonyo ndasmu!"
"Di Maiyah ini semua orang berposisi sama. Di sini tidak ada kyai-nya, tidak ada imam-nya, tidak ada mursid-nya, tidak ada syekh-nya. Jangan taat sama saya, yang harus anda taati hanya Rasullulah dan Allah, bukan saya. Saya nggak mau! Kalau anda taat sama saya, saat kamu nyolong, saya nggk bisa nolong kamu di akhirat. Hanya Allah dan syafaat Rasulullah yang bisa menolongmu." kata Cak Nun.
Maiyah itu bukan NU, Muhammadiyah atau lembaga islam lain. Tapi Maiyah tidak merubah orang NU untuk jadi bukan orang NU atau yang lainnya. Mereka tetap jadi diri sendiri. Dalam guyub rukun sebagai umat yang rahmatan lil alamin. Saling mengamankan, menyelamatkan dan menentramkan seluruh umat, nggak cuman muslim, tapi juga untuk semua mahkluk hidup dan seluruh alam.
Pada wedus, kebo atau hewan apapun, manusia harus menebarkan rahmatnya. Kalau ada orang cari ikan di sungai pakai potas, racun, listrik maka mereka sebenarnya merusak ukhuwah dengan alam. Tanah jadi rusak, tercemar zat kimia. Dan itu tidak rahmatan lil alamin, tapi rahmatan lil kelamin. Menungso golek enake tok ae..
[caption caption="poster kenduri cinta (sumber caknun.com)"]
Orang Maiyah tidak pamer ilmu, mereka menggunakan ilmunya hanya saat dibutuhkan, bukan untuk sok-sokan. Mereka kadangkala nge-share ilmu, dan itu bukan berarti pamer ilmu. Selama ilmu itu bisa mencerahkan, berguna untuk kemaslahatan umat dan dapat dipertanggungjawabkan, why not? Olraitt?
Orang Maiyah itu netral, out of the box dari hiruk pikuk politik negeri ini. Tapi bukan berarti apatis. Mereka adalah para pendamai. Jangan kaget kalau ada orang Maiyah yang 'menampar' ente di Medsos. Jika ente bikin status neko-neko, berpotensi bikin gaduh, atau apapun yang sifatnya sok-sokan. Dengan 'tamparan' dahsyat yang bisa bikin ente mengkeret, mungkret, manuk puret.
Tapi orang Maiyah sebisa mungkin menghidari perdebatan. Karena percuma, nggak akan ada ujungnya. Podo gemblunge eyel-eyelan masalah yang sama sekali nggak dikuasai. Kemampuannya sebatas pengetahuan bukan ilmu. Dan itu pun parsial, nggak menyeluruh dan masih jauh kalau disebut pakar. Apalagi debat soal agama, prei ae Mblo!
Apalagi ilmu Maiyah tidak mudah dipahami oleh orang yang terbiasa berpikir linear. Boleh saja nge-share atau posting ilmu yang didapat dari Cak Nun . Tapi jangan sepotong-sepotong, karena pemahamannya bisa lain dari yang dimaksudkan. Apalagi kalau yang baca postingan tadi tidak tahu atau mengenal Cak Nun sebelumnya, pasti uring-uringan, darah tinggi, stroke..opname.
Orang Maiyah dididik untuk bertanya, bukan menjawab. Karena hidup di negeri yang amburadul ini jangan mudah percaya pada yang anda dilihat, anda dengar dan bahkan yang anda pahami. Ente harus hidup dengan memulai pertanyaan-pertanyaan baru atas segala sesuatu. Intinya belajar bertanya dulu, nggak usah berpretensi untuk njawab..menengo, koen iku gak eruh!
Nggak cuman ilmu yang nggak suka dipamerkan. Apa pun itu yang sifatnya membanggakan diri dan berpotensi pamer, ditinggalkan. Ibadah memang jangan dipamerkan, dijadikan status fesbuk : "puas, sudah sedekah 2 trilyun pada anak yatim" atau "Alhamdulillah malam ini shalat tahajjud 50 rakaat." atau "OTW shalat dhuha."
Mereka terdidik untuk mengingatkan dan mengajak kebaikan tapi tidak memamerkan. Pokoknya berbuat baik usahakan tak seorang pun tahu. Jangankan manusia, kalau bisa jangan sampai Tuhan tahu kalau sedang ibadah untukNya. Ikhlas total!
Maka jangan heran kostum mereka biasa saja, tidak menunjukan keislamannya. Juga tidak menunjukan dirinya : "aku orang Maiyah lhoo..." Mereka nggak bergamis, berserban atau apapun yang malah membuatnya seperti bangsa lain. Dan jidatnya nggak gosong, karena bakalan ketahuan kalau rajin shalat dan itu bisa berpotensi pamer (mungkin alas sujudnya harus lembut kali ya) Yang penting saat mereka di tengah masyarakat bisa mengamankan, menentramkan dan mendamaikan.
"Agama itu letaknya di dapur, nggak perlu dipamerkan di warungnya. Nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa atau apa pun yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan yang menyenangkan semua orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah agama apapun yang di anut yang penting output di masyarakat itu baik..jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat dibutuhkan.." kata Cak Nun.
[caption caption="suasana di Kenduri Cinta (sumber : kenduricinta.com)"]
Orang Maiyah nggak mudah terseret oleh hal-hal yang sifatnya menyakitkan hati yang bisa memecah belah umat. Mereka nggak hobi teriak "Dajjal!", "Laknatulloh!", "Kafir!", "Syiah!" atau sejenisnya yang sempat trend akhir-akhir ini. Mereka membebaskan diri dari istilah-istilah seperti itu. Mereka terbiasa meluaskan hati dan pikiran. Tidak gampang menuduh sesat atau teriak kafir pada orang lain karena itu menyakitkan hati. Dan agama apa pun melarang menyakiti hati manusia.
Dalam berbuat apa pun, parameter mereka baik atau buruk. Kalau baik lakukan, kalau buruk tinggalkan. Disebut baik karena meningkatkan harkat dan martabat manusia. Disebut buruk karena menjerumuskan. Tentu saja baik sesuai dengan tuntunan agama. Intinya bisa membedakan ibadah madhah, ghairu madhah, dan ibadah muamallah (soal ini tanyakeun pada ustadzzz ente masing-masing).
Mereka dididik tidak anti (benci) pada aliran, agama, ideologi apapun. Bahkan pada setan pun mereka nggak benci. Karena setan adalah sparing partner-nya manusia, kerjanya menguji iman manusia. Setan nggak punya pilihan, pilihannya cuman berbuat buruk (menyesatkan manusia). Lucu kalau setan berbuat baik. Jadi, silahkan saja setan datang, ngopi-ngopi di rumah. Tapi jangan pernah turuti kemauannya.
Kita kadang kehilangan koordinat. Kita tidak berada pada perspektif yang memang begitu adanya sehingga ketika ada apa-apa, kita tahu koordinatnya di mana. Di negeri ini orang sukanya meng-close up-kan sesuatu (berita). Kalau sudah ngomong Inul, Inul terus. Ketika ada goyang ngebor, terganggu banget, seolah-olah kita ini alim semua. Padahal dalam kehidupan sehari-hari ada yang lebih remuk dari itu. Ngaku ae rek..
Kalau sudah ngomong hidung, hidunggg terus, nggak ingat mata, pipi, bibir. Di Maiyah, orang diharapkan bisa dengan satu pandangan mendapat seribu penglihatan. Ibarat pendekar disuruh konsentrasi melihat satu titik. Ketika ada pukulan dari belakang, samping, atas, bawah, tetap bisa menangkis.
Pandangan ke satu titik itu sebenarnya sebuah tugas di tengah tugas yang lain. Mata memandang ke satu arah tapi sesungguhnya memandang ke seluruh arah. Mata dibantu oleh saraf-saraf dan sensor-sensor yang lain sehingga saat ada tikaman dari belakang dan samping tetap bisa mengelak. Dan itu namanya ilmu. Kalau satu titik saja (close up) itu pengetahuan.
Di pengajian Maiyah, orang diajak 'mengembara', menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Karena di Maiyah nggak cuman pengajian agama doang, tapi juga mengkaji politik, budaya, sosial dan sebagainya. Semua boleh dipelajari, karena apa pun yang ada di dunia ini adalah cahaya ilmu. Silahkan pelajari Hitler, Firaun, wong gendeng. Dan mempelajari bukan berarti membenarkan mereka.
Di Maiyah semua orang boleh tampil, setan pun kalau mau tampil silakan. Jadi jangan heran kalau di jeda acara pengajian ada musik atau apa pun sekedar hiburan, selingan atau refreshing. Dan penampilnya nggak harus seorang musisi profesional, semua boleh naik panggung. Yang penting punya etika. Nggak pecicilan koyok raimu.
Di negeri ini, orang didengar omongannya saat orang sudah jadi 'orang' (hebat). Di Maiyah, semua boleh ngomong, agar semua orang tahu, dia hebat atau tidak.
[caption caption="cak nun ketika memberikan pencerahan (sumber caknun.com)"]
Karena tidak ada pendaftaran, kartu anggota atau segala tetek bengek soal administrasi, maka semua orang bisa jadi orang Maiyah. Tapi Maiyah tidak untuk keren-kerenan. Maiyah atau tidak, tidak dilihat dari tanda pengenal atau kostum, tapi dari kelakuan atau sikap ente. Kalau ente sok, suka mengkafirkan orang lain, suka teriak "laknatulloh!!", ente jelas bukan jamaah Maiyah tapi jamaah Ambyar al Ngawuri.
Kegiatan (pengajian) Maiyah tidak disponsori oleh produk tertentu apalagi partai politik. Dan tidak disiarkan di TV nasional, tapi hanya di TV lokal. Itu pun dalam rangka shodaqoh, tak dapat bayaran dari penayangannya. Pihak TV mengambil acara pengajian Cak Nun, bukan Cak Nun yang diacarakan oleh pihak TV. "Saya nggak mau diatur oleh media..," begitu kata Cak Nun.
Dan malah tayangan Cak Nun tadi menempati rating paling tinggi. Padahal jika ditinjau dari ilmu broadcast acara bersama Cak Nun sangat jauh dari kaidah pada umumnya. Lighting apa adanya, orang-orang yang dishooting juga rileks tidak dibuat-buat, alami. Rupanya pemirsa sudah bosan dengan polesan dan kepura-puraan. Mereka merindukan yang sejati.
Well, Ini saja ulasan singkat tentang orang Maiyah dari sudut pandang saya. Mungkin orang Maiyah pendapatnya berbeda dengan saya (tentang mereka). Yang jelas wawasanku soal Maiyah sakmene tok. Karena saya sendiri bukan orang Maiyah dan nggak layak jadi jamaahnya. Saya hanya simpati dan salut pada pemikiran dan aktivitas jamaah Maiyah tanpa pamrih untuk negeri ini. Dan bagi saya mereka pantas sebagai kader dari Indonesia yang sejati. Jrenggggg.....
-Robbi Gandamana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H