Aku suka reuni kecil-kecilan ini, lebih real dan apa adanya tanpa polesan dan topeng kepalsuan. Nggak seperti reuni kemarin yang mewah, glamour dan berlebihan, lebih condong ke ajang pamer kesuksesan. Tapi aku nggak begitu mempermasalahkan sih. Karena sebagai manusia biasa, itu hal yang jamak, biasa..wis tau.
Aku ber-hipotesa bahwa orang yang ngebet sekali ngajak reuni biasanya orang yang sudah sukses dalam hal materi. Ciri-cirinya bisa dilihat di wall Facebok-nya : memposting mobil baru, rumah baru sampai SK pengangkatan pegawai negeri..Subhanalloh.
Tentu saja nggak semua orang seperti itu. Tapi no problem, Bagaimana pun juga itu semua memang prestasi yang layak dipam..eh dibanggakan. Dan aku ikut senang temanku sudah pada sukses. Setidaknya lebih baik dibanding dengan nasibku sekarang..day by day.
***
Di teras rumahmu malam-malam itu kita mengulang cerita masa lalu. Tenggelam dalam gelak tawa tanpa batas. Kita kupas kembali episode demi episode memori yang tak pernah lekang oleh waktu, tentang apa saja..
Tentang rerumputan yang tumbuh subur di halaman sekolah. Yang menarik minat gerombolan kambing milik warga setempat asyik masyuk merumput. Pernah suatu kali kita giring ke dalam kelas untuk mengusili Bu Sumiyati yang terkenal reseh. Membuatnya tak mau masuk kelas yang membuat  seisi kelas girang, karena jam pelajaran jadi kosong. Alhamdulillah ya Rabb...
Tentang begitu hidup dan indahnya masa sekolah dulu. Hampir tiap hari penuh keceriaan dan kegilaan. Kegilaan yang jamak kita jumpai saat kita berusia belasan. Era mencoba dan bergaya. Dari rokok, minuman keras, ganja sampai kebut-kebutan. Tapi tidak untuk urusan wanita. Walau tampang Rambo tapi hati Rinto, dalam hal wanita kita tak berani berbuat nista.
(Ngomong soal kegilaan, jadi ingat pitutur seorang tokoh agama : "Silakan anak muda berpikirlah segila mungkin..tapi jangan pernah berhenti belajar.")
Tentang Oglo yang sama sekali nggak berbakat berbahasa Inggris. Tiap kali ditanya Pak Dalijo, guru bahasa Inggris, jawabannya selalu ngawur.
"Oglo, Where are you come from?"
"Metalika, Gan roses, Iron Maiden, Led zeplin, Skorpion...." jawab Oglo dengan rilek menyebut nama-nama band rock favoritnya.
Tentang teler di pojokan bangunan kosong dengan minuman keras murahan hasil ngompas adik kelas (dasar pemabuk nggak modal..!). Jika tak ada sesuatu untuk diminum (mabuk), kita mencuri spiritus milik sekolah yang biasa digunakan untuk praktek pertukangan yang rasanya mencekik leher itu. Oh God, benar-benar pecandu profesional yang tak bermodal.
Tentang minum di kelas sesaat sebelum pak Gendon mengajar juga kita kupas lagi. Adalah aku, Bongkeng, Gendhoel dan Oglo yang jadi biang kerok dari kelakuan sinting itu.
Kelas kita memang tempat berkumpulnya para bajingan. Tukang bolos, tukang mabuk sampai tukang tawuran. Isinya bajingan bersatu tak bisa diatur.
"Kamu minum ya..mulut kamu bau alkohol!" tuduh pak Gendon pada Bongkeng, yang rupanya hafal dengan bau alkohol.
"Ini bukan bau minuman keras pak..ini permen Koka Bola, kalau nggak percaya, nih cium..haaaaaaa," kata Bongkeng membela diri seraya membuka mulutnya lebar-lebar tepat di depan hidung pak Gendon.
Brakkk!! Pak Gendon menggebrak meja dengan keras, "Saya bukan anjing!!!!"
Bongkeng langsung digiring ke ruang interogasi sementara aku, Gendhoel dan Oglo langsung ke kantin Pak Prayit yang kebetulan berada di samping kelas. Membeli permen atau apa pun yang bisa menyamarkan bau alkohol dari mulut.
Aku juga cerita tentang betapa kagetnya Bu Sumiyati saat tak sengaja bertemu aku di sebuah kampus bonafit. Saat Bu Sumiyati mendampingi siswanya ikut lomba Mading yang diselenggarakan oleh Kampusku.
"Assalamualaikum..selamat siang Bu Sumiyati...masih ingat saya?" sapaku dengan nada canggung karena logat Jawa-ku yang super medok, terdengar wagu banget.
"Kamu Sanusi ya..?" tanya Bu Sumiyati dengan pandangan yang penuh selidik.
"Iya Bu..," jawabku seraya cengangas cengeges koyok wong gendeng.
Akhirnya kami pun ngobrol ngalor ngidul....bla bla bla bla bla bla. Sampai pembicaraan terakhir, masih kurasakan keheranannya padaku. Seorang bajingan payah yang bisa kuliah di kampus ternama.
Aku yang dulu tak diharapkan, diusir dari sekolah, masa SMA selama satu Pelita (Pembangunan Lima Tahun) karena harus tinggal kelas, ternyata diterima kuliah di kampus ternama. Sedangkan buanyak siswa langganan rangking atas, cuman kuliah di kampus swasta nggak jelas juntrungannya.
Nasib memang tidak bisa diprediksi..
Tapi yang paling kuingat adalah tentang aku yang mengumpat Pak Gendon tepat di mukanya karena rambutku terjaring razia, gondrong melebihi krah baju. Akibatnya dicukurlah rambutku dengan model tikus kecemplung got alias tak beraturan.
"Jiancokkk..!!!" umpatku lantang menggema di ruangan kelas yang kebetulan akustiknya bagus, sehingga tercipta echo dari teriakan itu, "cok..cok..cok..cok...cok".
Saat itu juga aku diseret oleh Pak Gendon dan pesuruh, seorang tangan kanannya yang setia (kalau tangan kirinya berarti tukang cebok) ke ruang kepala sekolah.
Sesampai di dalam, Ndilalah kersaningalah Pak Sekolah sedang serius menerima telpon, yang kelihatannya penting banget. Sampai aku di seluruh keluar ruangannya. Mungkin sedang ada proyek buku LKS dengan seorang Sales..ah tak tahulah. Sesampai di luar, langsung disambut pak Gendon dengan wajah wagu-nya.
"Lho kok cepat sekali, apa sudah selesai urusannya San?" tanya Pak Gendon
"Sudah pak.." jawabku serius.
"Yo wis sana masuk kelas!"
Aku pun langsung secepat kilat masuk kelas. 'Amannn,' batinku dalam hati. Tapi jujur saja sampai sekarang aku merasa bersalah. Tidak sepatutnya aku menghardik seorang guru yang harusnya jadi orang tua keduaku di sekolah. Astaghfirulloh...
Menyenangkan sekaligus getir tiap mengenang kembali, saat masih bersama di SMA Negeri Morat-marit dulu. (Kami sebut Morat-marit karena pembangunan infrastruktur di sekolah tersebut yang nggak kelar-kelar sampai kami lulus. Material bangunan banyak tercecer di berbagai sudut sekolah).
Jangan salah, kita tidak bangga dengan masa lalu yang kelam itu. Tapi mending mantan bajingan daripada mantan orang baik. Yaa..walaupun level baiknya tidak seperti pemeran protagonis sinetron Indonesia. Minimal kita sudah meninggalkan kegillaan masa muda. Tidak lagi jadi budak alkohol apalagi ganja. No way!
***
Bongkeng yang sekarang sudah beranak pinak, dulu kerap memborong kaset band rock idolanya. Kebanyakan kaset second, yang dibeli di pasar rombeng. Tapi sekarang hobi itu tidak diamalkan lagi. Kebutuhan hidup anak istri telah membunuh hobinya. Sebagai buruh pabrik yang bergaji cepak, dia harus tahu diri.
"Dulu ngoleksi kaset band Metal, sekarang ngoleksi piring, sutil, mangkok, sendok, baskom..." sindirku pada Bongkeng yang cuman cengengesan mendengarnya.
"Sekarang donlot di internet saja boss, ngirit jaya, " timpal Gendhoel yang dulu pernah diakali tukang rombeng. Beli kaset yang bersampul band metal terkenal..eh ternyata saat diputar di rumah, isinya ludruk..! Swemprulll!
Oglo yang sedari tadi cuman jadi pendengar setia, ikut menimpali, "Nggak usah terlalu fanatik pada musik metal, se-metal apapun kamu, nanti pas resepsi pernikahan paling muternya New Pallapa...dangdut koplo!!!"
"Aku berlindung pada metal dari godaan dangdut koplo yang terkutuk..." sahut Gendhoel dengan wajah khusyu' seraya menengadahkan muka dan mengangkat kedua tangan, tentu saja cuman berkelakar.
Dan keceriaan terus berlanjut sampai jarum jam menunjuk ke angka dua. Terlalu asyik nggedabrus sampai lupa kalau malam sudah berganti pagi. Pertanda saatnya perpisahan. Kita pun sama-sama berpamitan. Sampai ketemu di reuni selanjutnya bro. Semoga reuni sejati ini terulang lagi...si yu tumoro.
Â
-Robbi Gandamana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H