Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reuni Para (Mantan) Bajingan

26 Januari 2016   19:01 Diperbarui: 1 April 2016   12:55 2090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku yang dulu tak diharapkan, diusir dari sekolah, masa SMA selama satu Pelita (Pembangunan Lima Tahun) karena harus tinggal kelas, ternyata diterima kuliah di kampus ternama. Sedangkan buanyak siswa langganan rangking atas, cuman kuliah di kampus swasta nggak jelas juntrungannya.

Nasib memang tidak bisa diprediksi..

Tapi yang paling kuingat adalah tentang aku yang mengumpat Pak Gendon tepat di mukanya karena rambutku terjaring razia, gondrong melebihi krah baju. Akibatnya dicukurlah rambutku dengan model tikus kecemplung got alias tak beraturan.

"Jiancokkk..!!!" umpatku lantang menggema di ruangan kelas yang kebetulan akustiknya bagus, sehingga tercipta echo dari teriakan itu, "cok..cok..cok..cok...cok".

Saat itu juga aku diseret oleh Pak Gendon dan pesuruh, seorang tangan kanannya yang setia (kalau tangan kirinya berarti tukang cebok) ke ruang kepala sekolah.

Sesampai di dalam, Ndilalah kersaningalah Pak Sekolah sedang serius menerima telpon, yang kelihatannya penting banget. Sampai aku di seluruh keluar ruangannya. Mungkin sedang ada proyek buku LKS dengan seorang Sales..ah tak tahulah. Sesampai di luar, langsung disambut pak Gendon dengan wajah wagu-nya.

"Lho kok cepat sekali, apa sudah selesai urusannya San?" tanya Pak Gendon

"Sudah pak.." jawabku serius.

"Yo wis sana masuk kelas!"

Aku pun langsung secepat kilat masuk kelas. 'Amannn,' batinku dalam hati. Tapi jujur saja sampai sekarang aku merasa bersalah. Tidak sepatutnya aku menghardik seorang guru yang harusnya jadi orang tua keduaku di sekolah. Astaghfirulloh...

Menyenangkan sekaligus getir tiap mengenang kembali, saat masih bersama di SMA Negeri Morat-marit dulu. (Kami sebut Morat-marit karena pembangunan infrastruktur di sekolah tersebut yang nggak kelar-kelar sampai kami lulus. Material bangunan banyak tercecer di berbagai sudut sekolah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun