Beberapa hari yang lalu, iseng-iseng saya bertanya pada teman perihal kulit kepala shuttlecock, terbuat dari kulit apa. Jawabannya cukup membuat saya kaget : Terbuat dari kulit babi! Malah di tempat saya ada yang diproduksi dari kulit anjing! Waduh..!
Saya sih nggak percaya begitu saja. Maka saya coba search di mbah Google, jawabannya kebanyakan : terbuat dari kulit tipis yang kuat..? Kulit apa dong..? Semprul! Saya benar-benar penasaran. Saya tanya pada teman lainnya, jawabannya masuk akal juga : dari kulit sintetis. Alasannya, dari sisi cost lebih murah juga ketersediaan barang juga relatif mudah di dapat. Semoga saja begitu...Aamiin.
Hasil search tadi, saya malah mendapatkan info kalau senar raket ada yang terbuat dari usus babi..!
Oalaa..sebagai seorang muslim, ternyata banyak yang perlu diketahui sebelum menggunakan atau mengkonsumsi sesuatu. Seperti yang terjadi pada kasus kuas dari bulu babi (untuk kuas kue dan kuas cat rumah). Untuk yang ini saya nggak berani mbahas (harap maklum, ilmu agama saya pas-pasan).
Seandainya memang dari kulit babi, saya sih nggak masalah. Lha wong saya nggak pernah makan shuttlecock atau raket. Saya juga bukan penggemar olahraga bulutangkis. Dan seandainya saya olahraga bulutangkis pun juga no problem, karena saya selalu cuci tangan dulu sebelum makan. Lhoo..kalau nggak masalah, terus kenapa bikin tulisan seperti ini...?
Well, saya berharap dengan tulisan ini bisa menggugah kita untuk lebih kepo lagi pada barang atau makanan : terbuat dari apa? Saya bukan orang alim apalagi Ustadzzz..nggak deh, thanks. Saya malah ultra liberal, tak terlalu perduli fatwa MUI blablablabla...semua orang bisa bikin fatwa!
Oh ya bagi yang belum tahu, babi itu disamping haram juga najis (bila tersentuh kulit..tentu saja). Dan bila seorang muslim terkena najis maka harus disucikan. Jadi masalahnya sederhana saja, selalu cuci tangan sebelum makan atau kalau perlu mandi dulu...That's all.
Lhoo..woiiii..belum 100 kata, belum bisa memenuhi standar Kompasiana..!
**
Oke saya lanjut...Soal fatwa haram dan halal memang selalu ramai jadi perdebatan dimana-mana. MUI kadang kala bikin fatwa yang kontroversi. Ingat ketika memfatwa haram pengobatan ala Ponari yang pakai batu itu. Kesembuhan dari Tuhan bisa dari mana dan apa saja, kapsul, daun, batu atau apa pun. Syirik itu tidak dilihat dari bendanya tapi dari niat dan konsep orangnya.
Atau saat MUI memfatwa haram acara infotainment di televisi. Sebenarnya yang haram bukan infotaiment-nya tapi ghibah-nya (menggunjing atau menggosip orang, mengompor-ngompori artis yang bertikai dan seterusnya). Infotaimentnya sendiri nggak masalah (Infotainment = Informasi dan Entertainment)Â Kalau Infotainment haram, Rhoma Irama bakalan dilarang konser.
Juga kemarin saat ada petinggi MUI yang berwacana BPJS haram. Langsung saja para Netizen gaduh. Saling debat nggak karu-karuan. Tapi syukurlah akhirnya MUI memverifikasinya dengan menyebutkan bahwa BPJS halal. Alhamdulillah mblo..
Yang baru-baru ini cukup bikin saya senyam-senyum, makanan kucing pun ternyata pun dilabel halal oleh MUI..! Saya nggak tahu si kucing ini agamanya apa. Atau memang sebelum dikasihkan ke kucing harus dicicipi dulu. Atau mungkin juga makanan kucing tadi bisa dijadikan makanan alternatif buat si pemilik kucing. Ah saya tak tahulah....saya orang awam agama.
Di negeri yang mayoritas muslim ini seharusnya label yang diperlukan adalah label haram. Karena seorang muslim otomatis akan selalu mengkonsumsi makanan yang halal. Kalau di Barat sana mayoritas non muslim, mereka biasa mengkomsumsi makanan apa saja, jadi perlu label halal.
Wis ah..thanks!
Robbi Gandamana, 10 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H