Mohon tunggu...
Robert Musung
Robert Musung Mohon Tunggu... -

Menulis demi sebuah proses perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Indahnya Kebersamaan

24 Februari 2012   02:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

23 Februari 2012 08.40 WiTa in front of the Lake

Pagi ini kembali teringat dengan kejadian kemarin pagi. Tidak sadar saya merenungkan kejadian tersebut kembali. Kejadian dimana saya mengantarkan sahabat saya ke travel yang akan membawa dia ke bandara jam 5 pagi. Saya mengantarnya jam ½ 4 pagi dari rumahnya. Perginya tidak ada yang spesial terjadi. Kami hanya mengobrol hingga sampai di tujuan. Kejadian pentingnya adalah saat perjalanan pulang. Jalanan begitu sepi, sepi dari manusia, hewan, dan bahkan dari suara lain. Yang terdengar hanyalah bunyi deru motor yang kupacu kencang dan bunyi angin yang menerobos masuk melalui sela helmku. Perjalanan yang hanya memakan waktu sekitar 20 menit terasa begitu lama. Saya terhenyak dan tiba2 diarahkan kepada pemikiran bahwa betapa mengerikannya jika saya hanya seorang diri di dunia ini. Pasti, suram, sepi, dan mengerikan.

Tiba2 saya teringat dengan sebuah film Will Smith “I am Legend” dimana dia hanya ditemani seekor anjingnya. Kotanya hanya berisi mayat hidup yang akan berkeliaran di waktu malam dan sembunyi di saat ada matahari. Di saat terang ia akan mencari perbekalan untuk bertahan hidup, dan di malam hari ia sembunyi agar tidak diketemukan oleh mayat-mayat hidup itu. Yang pasti film itu mengajarkan bahwa seekor anjing pun sangat penting baginya karena hanya anjing itulah temannya. Itulah sebabnya saat anjingnya tersebut mati, ia pun seperti bosan dengan kehidupan yang ia miliki.

Ada juga film yang bertema serupa “Cast Away”, yaitu film yang bercerita tentang seseorang (Tom Hanks) yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni dan ia nyaris gila karena menghias sebuah bola voli menyerupai kepala manusia dan menjadikan bola voli itu temannya.

Jika saya merenungkan hidup saya dan hidup banyak orang, saya menemukan terkadang kita kurang bersyukur dengan orang-orang yang Tuhan hadirkan di sekitar kehidupan kita. Memang sih, kita tentu ingin agar orang-orang yang ada di sekeliling kita adalah mereka yang baik, pengertian, dan nyambung dengan kita. Kita pasti malas bertemu dengan mereka yang hanya menyusahkan kita, rusuh, nyebelin, brengsek, atau apapun istilah yang mau kita lekatkan pada profil orang tersebut.

Namun, coba kita bayangkan sejenak jika dunia ini hanya diisi oleh orang-orang yang brengsek dan tidak menyenangkan dan berikutnya bayangkan juga jika kita tinggal seorang diri di dunia ini tanpa ada manusia lain. Mana yang kita pilih? Jika kita semua pernah menonton kedua film yang saya contohkan di atas maka kita akan mengerti betapa kita membutuhkan manusia lainnya.

Maka tidaklah salah jika di sekolah kita diajarkan bahwa kita adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang perlu bersosialisasi dan bersama dengan makhluk lainnya. Bahkan Adam (manusia pertama di muka bumi ini, menurut ajaran agama tertentu) pun merasakan hal tersebut, sehingga Tuhan menghadirkan Hawa sebagai pendampingnya agar ia tidak menjadi kesepian.

Sungguh betapa sepinya dunia ini jika hanya diisi dengan diri kita sendiri atau jika kita mengurung diri di dunia kita sendiri, atau jika merasa tersingkir dari kehidupan sosial dan komunitas. Maka saya tidak heran jika banyak orang rela mengorbankan apa saja demi sebuah komunitas. Itu semua terjadi karena di komunitas tersebutlah mereka merasa nyaman dan diterima. Jangan kita terlalu cepat menyalahkan komunitas-komunitas yang menurut kita hanya bernuansa negatif dan ingin mereka dihilangkan saja dari muka bumi. Kita perlu menyalahkan diri kita terlebih dahulu. Mengapa kita menjauhi mereka? Mengapa kita menghina dan mengucilkan mereka? Mengapa kita menganggap diri kita begitu tinggi statusnya sehingga merasa mereka tidak layak bergaul dengan diri kita?

Melalui perenungan ini, saya belajar bahwa manusia sama berharganya di mata Tuhan. Selain itu, saya kembali diingatkan mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan beragam bentuk dan rupanya, karakter, sifat, sikap, dan lain-lain. Betapa indah jika semuanya bisa saling memahami dan membenahi. Bukankah itu tujuan Tuhan menciptakan kita. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. Sebuah peribahasa yang menunjukkan bahwa manusia baru bisa menjadi manusia seutuhnya jika berelasi dengan sesamanya.

Jadi, janganlah menjauhi sesama kita hanya karena dia berbeda keyakinan dan prinsip dengan kita? Janganlah menjauhi mereka karena mereka “salah” di mata kita? Dekati, rangkul, benahi, dan temani mereka.

Jika hal tersebut kita lakukan, saya membayangkan suatu dunia yang begitu indah, Tidak ada lagi kejahatan, perselisihan, pembunuhan, penipuan, penghancuran dan yang ada hanya keindahan. Keindahan akan menyinarkan kemuliaan Tuhan yang menenangkan jiwa bagi siapapun yang merasakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun