Mohon tunggu...
R. M. S. P. Alam
R. M. S. P. Alam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Bisnis UKM

Creating the Future

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Gaji, Mimpi, dan Pengunduran Diri

8 Oktober 2018   22:13 Diperbarui: 28 Agustus 2021   21:12 3485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Butuh waktu kurang lebih dua minggu untuk mencari justifikasi ke sana sini, bahwa apa yang saya lakukan adalah hal yang benar. Jujur, baru pertama kali itu, saya, ketika bangun tidur, terduduk di pinggir kasur, merenungi nasib dan menyesali pilihan. 

Saya harus menelpon orang tua, curhat tentang keadaan gaji yang tidak seberapa. Saya harus lebih banyak doa, memohon pembenaran atas kondisi yang ada. Tak lama kemudian, rombongan jawaban atas kegelisahan-kegelisahan pun datang, bak pawai pengangkatan Lurah baru hasil pemilihan.

Pembenaran Pertama: Banyak Orang Yang Bahkan Gajinya Jauh di Bawah Standar

Suatu malam saya ngobrol dengan teman-teman kosan yang mereka adalah pegawai di salah satu outlet di mall besar. Tiba-tiba dia membahas tentang pekerjaan. "Enak ya Lam, kerja kayak kamu, nggak capek. Sabtu minggu libur. Dan gajinya gede." 

Dalam hati saya membalas, "Enak pala lu bekerak!" Lalu dia melanjutkan, "Kalau gue sih dikit banget gajinya. Ah males ah nyebutin, malu banget." Saya diam saja dengan senyum yang dipaksakan.

Eh si Otong masih mau melanjutkan obrolan. "Asli malu gue. Buat modal pulang kampung pas lebaran aja kagak ada. Ah malu banget dah." Saya mulai tergerak hatinya. By the way, teman saya ini kerja di outlet kuliner sebagai koki (tukang masak---red). 

"Kalau gaji lu berapa Lam? Tanya dia. Saya hanya mematut jari di atas meja, mengernyitkan dahi. Belum sempat menjawab, dia nyelonong lagi seperti kuda balap, "UMR yak? Ah gue malu banget. Gaji gue kecil. Malu ah nyebutinnya." Siapa yang nanya? Benak saya berkata.

"Gaji gue Cuma satu juta, Lam."

***

Seketika rasa kesal melayani obrolan yang seolah tak berujung itu menguap begitu saja. Satu juta? Seriously? Bukankah itu hanya sepertiga UMR di sini?

Momen tersebut menjadi justifikasi pertama saya, bahwa saya tidak boleh mengeluh apalagi menyesal dengan pekerjaan yang sekarang. Kondisi di luar sana jauh lebih parah. Ketika bagi kita uang sepuluh ribu bukanlah masalah, masih banyak orang lain yang bahkan menganggap uang seribu perak layak diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun