Suatu ketika saya mengikuti suatu perlombaan yang diadakan oleh sebuah perusahaan besar di Indonesia. Di babak semifinal, kami diundang ke Jakarta untuk melakukan pitching di depan panelis. Pada saat technical meeting, kami sangat terkejut karena waktu yang disediakan untuk pitching hanyalah enam menit dan disarankan kurang dari sepuluh slide. Padahal tim kami sudah mempersiapkan dua puluh lima slide untuk ditampilkan. Akhirnya, malam itu juga, kami mengekstraknya menjadi sembilan slide. Dan berlatih mati-matian untuk menyampaikan ide proyek dalam enam menit.
Tak disangka kami lolos ke babak final kompetisi tersebut. Pada tahap ini, kami, para finalis, diwajibkan untuk menyelesaikan proyek akhir sembari magang di perusahaan tersebut. Tentu saja ini mengejutkan sekaligus membahagiakan bagi saya. Kapan lagi bisa mendapat kesempatan lomba sambil magang di perusahaan besar di negeri ini.Â
Akhirnya kami pun tinggal di ibukota selama dua bulan. Penyelesaian proyek mewajibkan tim kami untuk melakukan riset, konsultasi, dan bahkan wawancara dengan beberapa tokoh besar di dunia bisnis. Mulai dari ketua asosiasi, hingga direksi perusahaan besar kami temui.
Tentu saja, kami harus menjelaskan proyek solusi yang ingin kami kembangkan dan presentasikan di babak final nanti. Sebenarnya semua pertemuan ini bagi kami bagaikan bentuk latihan dalam melakukan pitching ide. Dan yang saya pelajari dari orang-orang yang kami temui adalah: mereka tidak mau penjelasan yang bertele-tele. Kami harus bisa menyampaikan ide dengan singkat. Mulai dari masalah apa yang ingin diselesaikan, solusinya apa, dan keuntungannya berapa. Wow. Singkat cerita kami menjadi juara dan mendapat golden ticket untuk bekerja di perusahaan tersebut dan bonus liburan ke Singapura.
Baiklah, dari sekian banyak pelajaran yang saya dapatkan dari pengalaman tersebut, ada satu hal yang sering mengusik saya dan membebani pikiran-pikiran saya di kala malam atau saat kuliah di dalam kelas. Otak saya terus memutar ulang kalimat berikut: mengapa kehidupan kerja dan perkuliahan cukup kontradiktif.
Semenjak itu, saya tidak hanya belajar materi di dalam ruang kuliah, tetapi juga menganalisis proses pembelajaran di dalamnya. Apa sebenarnya esensi dari perkuliahan ini. Saya menemukan kesalahan besar dalam keseluruhan proses pengajaran, yang tidak hanya meaningless, tetapi juga kontra-produktif.
Saya akan coba jabarkan penemuan saya dalam satu model yang sangat sederhana. Dalam model tersebut ada dua variabel dan dua subyek.
- Ilmu yang rumitÂ
- Ilmu yang disederhanakanÂ
- DosenÂ
- MahasiswaÂ
Ilmu yang rumit, dikristalisasi oleh dosen menjadi sederhana agar lebih mudah dipahami, lalu disampaikan kepada mahasiswa. Pada saat ujian, para mahasiswa ini harus menjabarkan ilmu yang sederhana tadi menjadi rumit kembali. Agar lebih mudah memahaminya, silahkan lihat gambar berikut.
Sampai di sini kami bisa menghapal setengah halaman lebih mudah—daripada seratus halaman. Kemudian, ketika ujian tiba, kami diharuskan menjabarkan kembali setengah halaman tadi menjadi seratus halaman, kembali seperti sedia kala. Tidak heran, banyak dosen yang mewajibkan mahasiswanya menulis jawaban dengan sangat panjang. Semakin banyak kalimat semakin baik, bagi dosen. Sedikit kalimat, dianggap tidak menjawab.
Hal yang sama juga terjadi ketika kami memperoleh tugas presentasi ke depan kelas. Kami harus melakukan presentasi suatu kasus atau business plan dalam rentan waktu tiga SKS atau seratus lima puluh menit. Semakin lama presentasi, semakin baik. Terlalu singkat presentasi, dianggap tidak memahami materi.
Berkat instruksi seperti di atas, akhirnya mahasiswa lebih mengedepankan kuantitas daripada kualitas. ‘Ah yang penting satu halaman penuh keisi jawaban. Bener atau nggak, urusan sekian.’ Muncullah pernyataan menyepelekan seperti itu. Pada saat presentasi, karena waktu yang diberikan adalah satu setengah jam, maka pihak presenter berbicara ke sana kemari tidak jelas.Â
Menyampaikan hal-hal yang justru sifatnya common sense. Bahkan akhir-akhir ini mulai muncul istilah bumbu, untuk mendefinisikan kalimat-kalimat tidak berfaedah yang disematkan dalam jawaban atau presentasi hanya untuk memperpanjang isinya. Kami malah menganggap semakin panjang suatu karya tulis, maka semakin baik.
Lalu, apa hasil dari semua ini? Tentu saja lahirlah mahasiswa-mahasiswa yang terbiasa menyampaikan common sense, berbicara panjang lebar tanpa ide pokok, dan menulis berlembar-lembar kalimat tak bermakna.
Di saat dunia luar bergerak sangat cepat, menuntut para calon pemimpin yang bisa berbicara singkat dan bermakna, kami justru membiasakan diri berbicara panjang lebar tak berarah. Di waktu mereka membutuhkan penjelasan akar masalah suatu kasus, kami malah menggaruk-garuk pucuk gejala di ranting-rantingya. Di kala manajer meminta presentasi yang efektif, kami malah sibuk menambahkan konten-konten agar slide presentasi tampak ramai.
Sudah saatnya para mahasiswa diajari bagaimana menarik ide-ide besar. Menyampaikan proposal dengan singkat. Mempresentasikan case study dengan data valid tanpa common sense. Menulis jawaban pertanyaan tanpa bertele, langsung ke intinya.Â
Sudah saatnya mahasiswa belajar bahwa kualitas jauh lebih bernilai daripada kuantitas. Berlatih mengekstrak dua paragraf informasi menjadi satu kalimat pokok. Melakukan lift pitching dalam satu menit untuk mengejar para calon investor untuk mendanai proyeknya. Sudah saatnya bagi para mahasiswa untuk belajar menempatkan diri di dunia yang sedang melesat secepat kilat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H