Yang saya bayangkan adalah seperti ini, ketika kita ambil satu orang murid SMA di negeri ini dan mengamati pola hidupnya, kita bisa mendapati perilaku yang sangat sesuai Pancasila. Dia beragama dan beribadah. Dia penuh kasih sayang terhadap teman dan orang lain. Dia tidak membeda-bedakan antar golongan. Dia sangat menghormati keputusan musyawarah. Dia berintegritas dan selalu adil dalam bersikap. Itu yang ingin saya lihat. Bukan dia yang bisa meneriakkan sila-sila Pancasila secara lantang. Bukan dia yang bisa menyebutkan Pancasila sambil menutup mata. Bukan. Dengan demikian, Pancasila adalah tentang berperilaku, bukan tentang berbicara.
Agen Perubahan
Sosok-sosok seperti Pak David dalam konteks negara Indonesia adalah para guru. Mereka lah yang bisa menjadi agen yang efektif dalam doktrinasi nilai-nilai Pancasila dan menjadi teladan manifestasi Pancasila. Apa yang perlu dilakukan negara ini untuk menjadikan Pancasila seutuh-utuhnya dasar negara? Ya sama dengan yang dilakukan oleh Pak David. Penyampaian yang berulang dari para pimpinan dan pengondisian yang tepat.
Para guru harus bisa mengkomunikasikan Pancasila sebagai perilaku kehidupan, bukan kalimat omong kosong. Orang akan lebih paham dengan contoh konkret dan tauladan. Jadi, poin ‘penyampaian’ di sini tidak hanya mengacu pada sosialisasi, tetapi juga contoh bersikap. Di saat sekolah dan hingga kini, saya sering terpukau dan memuja guru-guru saya. Dari kehidupan mereka, kebaikan mereka, hingga hal-hal hebat lain yang telah mereka lakukan untuk masyarakat. Pemerintah, khususnya Mendikbud, perlu membuat program ‘penanaman nilai Pancasila’. Rombak cara lama yang hanya berbentuk mata pelajaran pengembangan diri. Atau KWN atau PKN. Pancasila adalah contoh konkret. Buat simulasi diskusi dan musyawarah (bukan sistem voting seperti sekarang ini), simulai berbuat adil, simulasi bakti sosial, dan semacamnya.
Namun, asumsi yang perlu ada dalam program ini adalah, guru harus mencintai negara ini dan Pancasila terlebih dahulu. Penyampaian yang hanya berdasarkan perintah akan kalah telak dari penyampaian yang datangnya dari lubuk hati terdalam. Murid SD saja bisa menangkap ketulusan dari seseorang. Kuncinya, ada pada indoktrinasi dan pelatihan terhadap guru. Yang berfokus pada nilai-nilai Pancasila.
Pengondisian yang Tepat
Pada poin ini, cakupan implementasi akan lebih luas dan tidak terbatas pada sumber daya manusia. Tetapi juga sistem. Tidak usah muluk-muluk mengubah sistem pemerintahan dan institusi di Indonesia, cukup perbaiki sistem pendidikan terlebih dahulu. Sekolah-sekolah perlu mengondisikan lingkungan proses pembelajaran dan berkehidupan di sekolah yang bernuansakan Pancasila. Tentunya bukan dengan menempelkan berbagai tulisan Pancasila di semua tempat atau menggantungkan patung garuda Pancasila di seantero dinding sekolah.
Contoh pertama, sistem penghukuman yang memanusiakan manusia. Murid-murid bukanlah hewan ternak yang melulu harus dihukum secara fisik (layaknya dipecut) untuk bisa mengikuti perintah. Mereka adalah manusia yang butuh arahan dan pemahaman tentang semua hal. Jika bersalah, disetrap atau dihukum menyalin tulisan berlembar-lembar atau lari keliling lapangan bukanlah hukuman yang tepat. Bahkan kata ‘hukuman’ perlu kita hapuskan. Ganti dengan istilah ‘pendampingan’. Jika benar, murid harus dipuji, dan jika salah yang didampingi agar benar. Sistem pendampingan ini masih sangat minim. Bahkan masih banyak sekali sekolah yang bahkan tidak tahu bahwa muridnya bermasalah. Boro-boro mau mendampingi, tahu mereka bersalah saja tidak. Jadi perlu ada perhatian berlebih terhadap hal ini. Setidaknya, sistem yang bisa saya tawarkan adalah pendekatan secara personal dari guru. Jika ada murid yang ketahuan mencuri, ajak dia melihat berita korupsi dan dampaknya pada masyarakat. Jika ada murid yang terlambat, ajak dia melihat teman-temannya yang datang cepat padahal rumahnya jauh. Jika ada murid yang mencontek, ajak dia melihat tentang integritas. Hukuman di-skors dan dikeluarkan masih perlu, dan justru tetap harus diadakan, namun sebagai jalan terakhir ketika murid melakukan kesalahan fatal.
Contoh selanjutnya, adanya perbaikan sistem konsuling untuk siswa. Di laporan belajar, sudah ada aspek-aspek seperti kejujuran, kebaikan, ketertiban, dan lain-lain. Tetapi sejauh ini, saya hanya melihat bahwa hal tersebut masih berupa catatan kecil yang sumbernya tidak jelas dan tiada tindak lanjutnya. Sistem penilaian tersebut harus diperjelas dan ada proses konsuling lebih lanjut antara guru dan murid tentang nilai-nilai yang didapat. Apa masalah murid, bagaimana pandangan murid, dan berdiskusi bagaimana sebaiknya mereka bersikap—sesuai nilai-nilai Pancasila.
Contoh lainnya adalah pengadaan mata pelajaran praktik musyawarah dan diskusi. Di sini murid-murid diajarkan secara nyata bagaimana seharusnya suatu keputusan dibuat. Bagaimana proses musyawarah yang benar. Dan mengapa sistem voting bukanlah cara utama musyawarah. Itu adalah jalan terakhir jika musyawarah tidak berhasil. Dalam mata pelajaran ini, murid-murid juga akan belajar tentang bagaimana beretika dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Bagaimana menghormati orang yang berbicara. Dan bagaimana agar tidak berfokus pada debat kusir, tetapi fokus pada masalah dan solusi. Hal ini akan lebih impactfuldaripada perintah mengerjakan soal pilihan berganda tentang bagaimana sikap yang sopan dalam berdiskusi.
Terkait dengan nilai-nilai agama, perlu ditegakkan kebiasaan berdoa di awal dan di akhir. Dan disebutkan apa niat dari doa tersebut. Yang tentunya akan mengacu pada manfaat pelajaran yang akan dimulai hari itu. Semoga ilmu yang didapat bisa digunakan dan membantu menyelesaikan masalah di sekitar kehidupan kita. Selain itu, guru juga sebaiknya menyelipkan ilmu-ilmu keTuhanan dalam belajar. Tentang perintah berbuat baik, belajar, dan mengapa mereka harus terus menuntut ilmu. Perbedaan agama bukan masalah. Karena dalam hal ini, nilai-nilai tentang perilaku baik dan kewajiban menuntut ilmu adalah tuntutan agama secara universal.