Mohon tunggu...
R. M. S. P. Alam
R. M. S. P. Alam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Bisnis UKM

Creating the Future

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila, Nilai Perusahaan, dan Guru

3 Juni 2016   11:27 Diperbarui: 3 Juni 2016   11:32 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: politik.rmol.co

Banyak yang bilang bahwa Pancasila hanya sekedar menjadi kalimat hafalan di lidah. Wajar karena setiap hari senin—ketika kita masih duduk di bangku sekolah, selalu mengucapkan lima kalimat itu dengan lantang. Sayangnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga hanya menyangkut di mulut, tidak termanifestasikan ke dalam kehidupan nyata. Apakah benar seperti ini? Lucunya beberapa kali saya menemukan orang yang tidak bisa menyebutkan sila dalam Pancasila secara utuh dan benar. Bahkan urutannya salah. Dan fenomena ini tidak hanya terjadi di sekolah terbaik di Indonesia dan tetapi juga di universitas yang digadang-gadang nomor satu se-Indonesia Raya. Mirisnya, jika di lidah saja sudah tak hapal, bagaimana di implementasinya? Oleh karena itu, pertanyaan baru muncul, apakah benar kita harus menghapal Pancasila?

Pancasila bagaikan nilai perusahaan

Pada suatu ketika, saya berkesempatan makan malam bersama David Utama, CEO GE Healthcare Asean, dan Danny Supriyadi, Direktur sebuah Perusahaan Konsultan Independen. Topik yang muncul pada acara tersebut adalah tentang kepemimpinan anak muda. Setiap orang di meja tersebut yang notabene mayoritas adalah mahasiswa melempar pertanyaan-pertanyaan, baik profesional maupun personal.

Pada salah satu bahasan, Pak David menceritakan tentang GE Beliefs. Itu adalah lima nilai GE atau yang biasa kita kenal sebagai corporate value. Dengan cara penyampaian yang tegas namun santai, ditambah kewibawaan yang luar biasa, beliau mengelaborasi lima nilai GE dalam waktu sepuluh menit yang langsung membuat kami berdecak kagum dan langsung paham tentang bagaimana GE bekerja dan seharusnya bekerja.

Misalnya, nilai nomor satu, customer determine our success. Kalimat ini sangat powerfulmenurut saya pribadi. Dulu nilai ini berbunyi customer focus.Namun eksekutif merasa bahwa kalimat tersebut kurang bisa dimengerti oleh karyawan operasional. Akhirnya kalimat tersebut dimodifikasi menjadi seperti sekarang. Sehingga menjadi lebih mudah dipahami.

Sebagai informasi, kita harus paham terlebih dahulu bahwa GE adalah perusahaan yang sangat besar di dunia. Sebuah blue chip corporation. Ia terkenal dengan mottonya yang sangat optimistis, if we cannot become number one or number two, then walk out. Dan mereka menjadi nomor satu. Terutama di bisnis pembuatan mesin. Mesin pesawat adalah salah satu produk yang mereka buat dan pangsa pasar mereka lebih dari lima puluh persen di dunia. Lantas apa korelasinya dengan Pancasila? Obrolan tersebut memang tidak tentang Pancasila. Namun ada kaitannya.

Komunikasi dan Pengondisian

Di akhir obrolan tentang GE Beliefs, Pak David mengatakan, “Jika saya saja, yang baru bertemu kalian di sini bisa langsung membagikan nilai-nilai tersebut seperti ini. Bayangkan apa yang saya lakukan dengan ribuan karyawan di perusahaan.” Tak ayal, nilai-nilai GE benar-benar terlihat dari kualitas produk dan layanan yang diberikan, kualitas SDM—GE dikenal mampu mencetak pemimpin-pemimpin global yang fenomenal, dan yang terpenting dapat terlihat dari corporate cultureatau budaya perusahaan. Yang perlu digarisbawahi, nilai-nilai dapat membentuk budaya. Dan berapa yang dihabiskan oleh GE untuk membentuk kultur yang seperti sekarang ini? Ratusan juta dollar Amerika tidak ke mana. Bayangkan, perusahaan menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk proses pembentukan budaya perusahaan. Menurut saya, uang itu adalah investasi.

Semua kondisi, modul, dan sosialisasi dari manajemen dilakukan untuk membentuk kultur perusahaan yang karyawannya berjumlah lebih dari 300.000 orang. Bayangkan jika penduduk Indonesia bisa memahami Pancasila sebagai nilai-nilai dasar negaranya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa menjadi negara adidaya. Kembali lagi, lantas bagaimana kita bisa membuat Pancasila sebagai sebenar-benarnya dasar falsafah dan pedoman hidup bangsa?

Bukan Hapalan Melainkan Perbuatan

Entah mengapa saya yakin jika kita mengambil satu karyawan GE secara acak dan menyuruhnya menyebutkan GE Beliefssecara lengkap dan urut, dia akan kesulitan. Namun, di saat yang sama, saya sangat yakin bahwa karyawan itu pasti memiliki komitmen yang amat besar terhadap perusahaan. Sebagaimana kami melihat aura tersebut pada diri Pak David yang sangat bangga dan merasa seolah GE adalah hidupnya. Jadi, apakah kita masih harus fokus pada hapalan belaka?

Yang saya bayangkan adalah seperti ini, ketika kita ambil satu orang murid SMA di negeri ini dan mengamati pola hidupnya, kita bisa mendapati perilaku yang sangat sesuai Pancasila. Dia beragama dan beribadah. Dia penuh kasih sayang terhadap teman dan orang lain. Dia tidak membeda-bedakan antar golongan. Dia sangat menghormati keputusan musyawarah. Dia berintegritas dan selalu adil dalam bersikap. Itu yang ingin saya lihat. Bukan dia yang bisa meneriakkan sila-sila Pancasila secara lantang. Bukan dia yang bisa menyebutkan Pancasila sambil menutup mata. Bukan. Dengan demikian, Pancasila adalah tentang berperilaku, bukan tentang berbicara.

Agen Perubahan

Sosok-sosok seperti Pak David dalam konteks negara Indonesia adalah para guru. Mereka lah yang bisa menjadi agen yang efektif dalam doktrinasi nilai-nilai Pancasila dan menjadi teladan manifestasi Pancasila. Apa yang perlu dilakukan negara ini untuk menjadikan Pancasila seutuh-utuhnya dasar negara? Ya sama dengan yang dilakukan oleh Pak David. Penyampaian yang berulang dari para pimpinan dan pengondisian yang tepat.

Para guru harus bisa mengkomunikasikan Pancasila sebagai perilaku kehidupan, bukan kalimat omong kosong. Orang akan lebih paham dengan contoh konkret dan tauladan. Jadi, poin ‘penyampaian’ di sini tidak hanya mengacu pada sosialisasi, tetapi juga contoh bersikap. Di saat sekolah dan hingga kini, saya sering terpukau dan memuja guru-guru saya. Dari kehidupan mereka, kebaikan mereka, hingga hal-hal hebat lain yang telah mereka lakukan untuk masyarakat. Pemerintah, khususnya Mendikbud, perlu membuat program ‘penanaman nilai Pancasila’. Rombak cara lama yang hanya berbentuk mata pelajaran pengembangan diri. Atau KWN atau PKN. Pancasila adalah contoh konkret. Buat simulasi diskusi dan musyawarah (bukan sistem voting seperti sekarang ini), simulai berbuat adil, simulasi bakti sosial, dan semacamnya.

Namun, asumsi yang perlu ada dalam program ini adalah, guru harus mencintai negara ini dan Pancasila terlebih dahulu. Penyampaian yang hanya berdasarkan perintah akan kalah telak dari penyampaian yang datangnya dari lubuk hati terdalam. Murid SD saja bisa menangkap ketulusan dari seseorang. Kuncinya, ada pada indoktrinasi dan pelatihan terhadap guru. Yang berfokus pada nilai-nilai Pancasila.

Pengondisian yang Tepat

Pada poin ini, cakupan implementasi akan lebih luas dan tidak terbatas pada sumber daya manusia. Tetapi juga sistem. Tidak usah muluk-muluk mengubah sistem pemerintahan dan institusi di Indonesia, cukup perbaiki sistem pendidikan terlebih dahulu. Sekolah-sekolah perlu mengondisikan lingkungan proses pembelajaran dan berkehidupan di sekolah yang bernuansakan Pancasila. Tentunya bukan dengan menempelkan berbagai tulisan Pancasila di semua tempat atau menggantungkan patung garuda Pancasila di seantero dinding sekolah.

Contoh pertama, sistem penghukuman yang memanusiakan manusia. Murid-murid bukanlah hewan ternak yang melulu harus dihukum secara fisik (layaknya dipecut) untuk bisa mengikuti perintah. Mereka adalah manusia yang butuh arahan dan pemahaman tentang semua hal. Jika bersalah, disetrap atau dihukum menyalin tulisan berlembar-lembar atau lari keliling lapangan bukanlah hukuman yang tepat. Bahkan kata ‘hukuman’ perlu kita hapuskan. Ganti dengan istilah ‘pendampingan’. Jika benar, murid harus dipuji, dan jika salah yang didampingi agar benar. Sistem pendampingan ini masih sangat minim. Bahkan masih banyak sekali sekolah yang bahkan tidak tahu bahwa muridnya bermasalah. Boro-boro mau mendampingi, tahu mereka bersalah saja tidak. Jadi perlu ada perhatian berlebih terhadap hal ini. Setidaknya, sistem yang bisa saya tawarkan adalah pendekatan secara personal dari guru. Jika ada murid yang ketahuan mencuri, ajak dia melihat berita korupsi dan dampaknya pada masyarakat. Jika ada murid yang terlambat, ajak dia melihat teman-temannya yang datang cepat padahal rumahnya jauh. Jika ada murid yang mencontek, ajak dia melihat tentang integritas. Hukuman di-skors dan dikeluarkan masih perlu, dan justru tetap harus diadakan, namun sebagai jalan terakhir ketika murid melakukan kesalahan fatal.

Contoh selanjutnya, adanya perbaikan sistem konsuling untuk siswa. Di laporan belajar, sudah ada aspek-aspek seperti kejujuran, kebaikan, ketertiban, dan lain-lain. Tetapi sejauh ini, saya hanya melihat bahwa hal tersebut masih berupa catatan kecil yang sumbernya tidak jelas dan tiada tindak lanjutnya. Sistem penilaian tersebut harus diperjelas dan ada proses konsuling lebih lanjut antara guru dan murid tentang nilai-nilai yang didapat. Apa masalah murid, bagaimana pandangan murid, dan berdiskusi bagaimana sebaiknya mereka bersikap—sesuai nilai-nilai Pancasila.

Contoh lainnya adalah pengadaan mata pelajaran praktik musyawarah dan diskusi. Di sini murid-murid diajarkan secara nyata bagaimana seharusnya suatu keputusan dibuat. Bagaimana proses musyawarah yang benar. Dan mengapa sistem voting bukanlah cara utama musyawarah. Itu adalah jalan terakhir jika musyawarah tidak berhasil. Dalam mata pelajaran ini, murid-murid juga akan belajar tentang bagaimana beretika dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Bagaimana menghormati orang yang berbicara. Dan bagaimana agar tidak berfokus pada debat kusir, tetapi fokus pada masalah dan solusi. Hal ini akan lebih impactfuldaripada perintah mengerjakan soal pilihan berganda tentang bagaimana sikap yang sopan dalam berdiskusi.

Terkait dengan nilai-nilai agama, perlu ditegakkan kebiasaan berdoa di awal dan di akhir. Dan disebutkan apa niat dari doa tersebut. Yang tentunya akan mengacu pada manfaat pelajaran yang akan dimulai hari itu. Semoga ilmu yang didapat bisa digunakan dan membantu menyelesaikan masalah di sekitar kehidupan kita. Selain itu, guru juga sebaiknya menyelipkan ilmu-ilmu keTuhanan dalam belajar. Tentang perintah berbuat baik, belajar, dan mengapa mereka harus terus menuntut ilmu. Perbedaan agama bukan masalah. Karena dalam hal ini, nilai-nilai tentang perilaku baik dan kewajiban menuntut ilmu adalah tuntutan agama secara universal.

Indonesia Bisa

Yang bisa saya simpulkan dari ulasan singkat ini adalah bahwa kunci pengembalian paradigma Pancasila dalam kehidupan kita akan sangat bergantung pada guru dan sistem pendidikan di sekolah. Jangan tuntut mereka untuk menghapal. Tunjukkan mereka apa itu Pancasila. Bagaimana perilaku yang sesuai dengan Pancasila. Besar harapan saya Indonesia Bisa mengembalikan Pancasila sebagai pondasi utama bangsa Indonesia.

Salam Perubahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun