Mohon tunggu...
R. M. S. P. Alam
R. M. S. P. Alam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Bisnis UKM

Creating the Future

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Si Bocah Penangkap Kisah

7 Mei 2016   22:25 Diperbarui: 8 Mei 2016   10:30 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada yang benar-benar mengenalnya, tidak ada yang tahu berapa saudara yang ia punya, dan bahkan tidak ada yang peduli dengan cerita-nya. Orang-orang hanya peduli dengan hasil jepretan kamera dan video editannya. Saat itu, jika kau hendak mencari seorang muda yang master dalam urusan fotografi dan sinematografi, datanglah padanya. Berbagai pesanan untuk membuat video profil, iklan, pre-wedding pun memenuhi to-do-list hari-harinya. Setiap orang yang membutuhkan foto ID, produk, dan bahkan foto profil baru untuk socmed-pun berbondong-bondong meminta tolong padanya.

Ratusan gambar yang tak ternilai maknanya telah tertangkap kameranya. Puluhan video yang diambil dan di-edit sendiri olehnya telah goes viral di berbagi social media. Ribuan kisah telah tertangkap dan diceritakan oleh lensa itu, tetapi tak ada satu pun merupakan kisah dirinya.

Lagi-lagi, semua orang datang dan pergi hanya untuk menggunakan jasanya. Beberapa kali ia berani memasang tarif dengan nominal yang membuat mata berbinar—untuk ukuran mahasiswa tentunya, namun jauh lebih sering ia rela tak dibayar ketika mengatasnamakan pertemanan. Mereka semua hanya peduli atas gambar dan video yang keluar dari kamera DSLR itu. Mereka tak memusingkan lelaki yang selalu berada di baliknya. Orang yang memicingkan mata di lubang fokus. Menekan tombol shutter beratus kali untuk menangkap momen yang mungkin hanya muncul dengan satu per sejuta kemungkinan. Mondar-mandir ke sana kemari mencari sudut yang paling tepat. Mengedit video semalaman (bahkan bermalam-malam) untuk mendapatkan hasil yang orang bilang perfect, excellence, atau masterpiece.

Di kesehariannya, dengan bermodalkan sepeda rakitan yang dibeli di toko barang bekas, ia berangkat kuliah, mengumpulkan tugas paper, memperhatikan dosen dengan mata yang terkantuk-kantuk, pergi ke warung untuk menyantap sepiring nasi berlauk telur, dan kembali lagi ke kamar 2x3 nya. Di kamar itu—yang telah menjadi ruang privasi sekaligus studio pribadinya, ia mengerjakan semua orderan. Baju dua hari lalu masih bertumpuk di kasur, remahan biskuit keju bertebaran, beberapa sarang laba-laba hampir mencapai rambutnya, ia tetap bisa bekerja semalaman. Siapa pun tidak akan menyangka jika karya-karya masterpiece lahir dari dalam kamar—yang seperti gudang—itu.

Baiklah, jika mereka memang tidak mau tahu dan merasa tidak perlu tahu ceritanya. Akan kuceritakan pada kalian beberapa rahasia kecil dari si pengambil gambar. Ia adalah seorang yatim yang sudah ditinggal ibunya untuk menjadi TKI sejak balita. Dengan penuh kasih sayang, ia dibesarkan oleh nenek tercinta di rumah berdinding bata. Dan hingga kini ia tak pernah tahu rasanya menjadi bocah lelaki dari seorang bapak—ayahnya meninggal enam bulan sebelum ia melihat dunia. Untung saja, ada seorang paman yang terbilang ‘lebih mampu’ dibanding jajaran persaudaraan orang tuanya, yang peduli untuk membiayai pendidikannya. Tumbuh sebagai anak tunggal, tanpa pernah merasakan kehadiran seorang bapak, ia harus belajar dan belajar. Memenuhi syarat minimal nilai untuk mahasiswa ber-beasiswa.

Mungkin kisah ini beberapa kali kita dengar dan baca. Seorang anak dengan kisah keluarga yang kekurangan dan kemudian tumbuh menjadi bintang di kelas, ahli di bidang ilmunya, terbang ke luar negeri, bekerja di perusahaan multinasional ternama, kembali membawa kesejahteraan baru untuk orang tua dan keluarga, mulai menulis novel, masuk di acara talkshow dalam layar kaca, hingga akhirnya menjadi orang yang dikenal di mana-mana. Sayangnya berbagai hal tersebut tidak dialami oleh lelaki itu. Dia memang pekerja keras. Namun, tujuan hidupnya sangat sederhana, memberikan dampak pada orang-orang di sekitarnya dan bertemu bunda tercinta. Menulis cerita tentang kisah hidupnya pernah sekali terbesit. Tetapi tutur katanya ternyata tidak selihai kameranya menulis cerita.

Dan ketika itulah ia menyadari minat dan bakat di bidang fotografi dan sinema. Berawal dari meminjam kamera kawan. Jepret sana sini. Karyanya diakui. Mendapat banyak orderan. Receh demi receh terkumpulkan. Kamera baru pun bisa terbeli. Dan sampai di sanalah dia. Berdiri di dalam ruangan di lantai dua puluh delapan gedung mentereng di Jalan Sudirman. Berkat berbagai karya masterpiece, ibu kota pun memanggilnya.

Namun, kali ini bukan receh lagi yang ia dapat, melainkan tarif profesional yang dibayarkan untuk jasanya dalam membuat video iklan selama satu setengah menit untuk perusahaan. Nominal tersebut sudah lebih dari cukup untuk membekali kepergiannya.

***

Wanita tua itu berdiri kaku. Tergugu dalam isakannya. Tangannya menutup mulut yang bergetar. Desisan mengucap nama Tuhan lirih terdengar. Apakah benar yang berdiri di depan rumah itu adalah putraku? Tanyanya dalam hati.

Si pengambil gambar hanya bisa terdiam. Menatap wajah renta itu. Wajah yang tak semuda sebagaimana ingatannya dahulu. Namun tetap saja ia lekat dan telah memenuhi memorinya. Menemani malam-malam panjang saat mengedit ribuan frame dan gambar. Berkelebat cepat di ujung-ujung dzikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun