Senja itu di Kampus Kerakyatan
2 Mei 2016.
Pagi itu hingga petang, ribuan mahasiswa memadati halaman depan gedung rektorat. Dengan ber-jas-kan almamater kebanggaan, mereka membawa umbul-umbul, bendera, spanduk, dan atribut lainnya. Lagu hymne kampus dan Indonesia Raya bergemuruh di udara. Menggetarkan siapa pun yang mendengarnya. Tatapan-tatapan optimis bersemburat tajam dari wajah-wajah berpeluh yang tak gentar menantang terik. Mahasiswa berbagai fakultas dan sekolah vokasi merapatkan barisan, bersatu suara. Tiga tuntutan dilayangkan: Rencana kenaikan UKT, isu tunjangan kinerja (tukin), dan relokasi kantin Sosio Humaniora atau Bonbin. Inilah pesta rakyat. Aksi terbesar yang pernah ada.
Semalam, hati ini terus bertanya-tanya. Apakah semua tindakan kami benar? Hingga meluncurlah sajak dari tepi Jalan Gejayan. Dengan salah satu baitnya yang berkata,
Apakah benar kita berdiri di sana untuk mendukung pedagang? Atau hanya sekedar mencari alasan agar tidak jauh berjalan mencari makan?
Apakah benar kita mengatasnamakan suara teman-teman? Atau hanya ingin meramaikan ‘aksi’ yang mengasyikkan?
Apakah benar kita menuntut penurunan biaya? Atau hanya mencari cara agar ada uang sisa untuk bersenang-senang?
Apakah benar kita mendukung adanya tunjangan? Atau hanya ingin agar mahasiswa masih bisa terlihat taringnya?
Apakah benar kita masih memperjuangkan hak-hak mahasiswa? Atau hanya kesal dengan berita media?
Apakah benar?
Mana yang benar?
Tak terelakkan hati ini bersimpati. Namun, tidak terhadap UKT, tukin, ataupun Bonbin. Tetapi justru kepada saudara-saudaraku yang turun ke jalan sana.
Benar kampus ini bermasalah. Hingga anak didiknya berdemonstrasi secara serempak dan bersama. Benar kampus ini bermasalah, hingga mahasiswanya menyela dan membentak sembari menuding rektor ketika berdiskusi dan berkompromi. Benar kampus ini bermasalah, hingga para pelajarnya berteriak dengan menggunakan kata-kata saru yang tidak pantas diucapkan dengan pengeras suara. Benar kampus ini bermasalah, hingga kader bangsanya, lebih mementingkan meributkan apa yang harusnya mereka dapatkan daripada apa yang semestinya bisa mereka persembahkan. Benar, kampus ini bermasalah, hingga peserta didiknya sering kali lupa bahwa pembiayaan pendidikan mereka dibantu oleh negara dan masyarakatnya. Benar, kampus ini bermasalah. Benar, kampus ini rusak.
Jika menilik pada tujuan pendidikan nasional, berbagai hal di atas benar adalah masalah dari perspektif saya. Mari kita kutip lagi tujuan pendidikan berdasarkan UU No. 23 tahun 2003 pasal 3.
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Apakah fenomena perilaku mahasiswa yang saya nyatakan sebelumnya mencerminkan manusia bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, dan bertanggung jawab? Jika tidak, salah siapa? Apakah kami mahasiswa atau institusi pendidikan?
Menurut Kemendikbud, pada 2015 jumlah buta aksara di Indonesia mencapai 5,97 jiwa. Di saat yang sama, data UNICEF mengungkapkan bahwa 42% anak di Indonesia harus putus sekolah. Dan selain itu, terdapat 56,8 juta penduduk Indonesia yang masih belum bisa mengakses air bersih.
Jika mau menyuarakan jeritan rakyat, kenapa tidak kita dengar saja bisikan mereka di atas? Orang-orang yang buta aksara, putus sekolah, dan tidak bisa meminum air bersih. Dan itu masih sekelumit dari sekian persoalan bangsa. Sayangnya, kita tidak memiliki arah acuan untuk proses pemahaman.
Ketika mahasiswa tidak memahami masalah yang sebenarnya dan malah terbutakan oleh masalah untuk kepentingan mereka, di situlah seharusnya kampus mulai bertindak cepat. Bukan salah kami yang latah dan tidak mencari tahu. Bukan salah kami jika apa yang kami lihat adalah pemimpin-pemimpin bangsa yang memang tidak peduli selain kepentingannya sendiri. Yang kami lihat adalah kampus megah yang berpilarkan gedung-gedung mentereng, jendela-jendela bertiraikan kain emas yang menutup mata kami dari realitas, materi kuliah formalitas yang hanya mengantarkan kami ke meja administrasi penerimaan kerja, dan dosen-dosen yang terlalu sibuk dengan proyek-proyek senilai puluhan juta rupiah hingga tidak ada waktu untuk duduk bersama anaknya di luar kelas, membicarakan masalah yang tengah dihadapi bangsa.
Ini yang saya sarankan agar kampus lakukan, yaitu menyadarkan mahasiswa bahwa setiap ilmu yang mereka cerna mendapat berkat dari jutaan rakyat di luar pagar kampusnya. Biaya kuliah mereka mengandung subsidi dari uang rakyat. Uang dari masyarakat dari desa pelosok sana. Desa yang namanya asing di telinga dan bahkan kita tak tahu bahwa mereka ada. Bagaimanapun mereka ikut membayar pajak negara. Yang pada akhirnya uang tersebut digunakan untuk mengurangi beban mahasiswa di kampus kerakyatan. Semua ini bisa dilakukan jika institusi peduli dan dekat dengan peserta didiknya. Memberikan pemahaman dan jalan keluar layaknya seorang ibu yang mengelus kepala anaknya sambil mendongengkan kisah teladan. Sayangnya, tidak demikian. Hubungan peserta didik-institusi bagaikan hubungan atasan dan bawahan. Transaksional dan komersial.
Orientasi terhadap ‘kerakyatan’ perlu diluruskan ulang dan digalakkan. Kita bertanggung jawab dan bahkan berutang pada rakyat.
Dalam semua elemen pembelajaran di kampus kerakyatan harus selalu disisipkan fokus kepada esensi kerakyatan itu sendiri. Apakah perlu menunggu hingga ada peristiwa besar agar kita semua sadar bahwa ada yang salah dengan proses pengajaran? Pemahaman tentang inti dari kerakyatan? Kerakyatan. Rakyat. Mereka yang masih menaruh harap pada bangsa. Mereka yang masih menghormati negara. Mereka yang tidak mau berpindah kewarganegaraan walau hanya sepelemparan batu dari kehidupan yang lebih sejahtera. Mereka yang masih bangga untuk berdiri di tanah lapang desa, menghormat Sang Saka, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Salam Perubahan.
Salam Persatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H