Kumpulan cerita pendek (cerpen) Cerita Dari Blora (selanjutnya disingkat CDB) karya Pramoedya Ananta Toer merupakan kisah beragam tokoh yang menggerutu terhadap nasibnya.
Tiap pengarang punya kebebasan begitu pula dengan Pram. Ia punya kebebasan dengan cara bagaimana menuturkan kisahnya, dan dari sudut mana ia mengambil fokus. Gaya humor satir yang saya damba-dambakan tak muncul dalam CDB. Pram memilih gaya realis untuk menyajikan CDB. Kadang-kadang juga romantik khas anak muda (umur Pram 25 tahun saat menulis CDB).
Pram mengisahkan CDB seperti teman lama yang bawel. Seperti teman lama yang kita jumpai di warung kopi yang mempunyai setumpuk cerita. Seperti tak ada hari esok sehingga ia menceritakan segala-galanya pada kita; tentang kisahnya sendiri, tentang bapak/ibu, dan saudara-saudaranya, tentang kekasihnya, tentang tetangganya, dan tentang orang-orang yang ia kenal di kotanya. Sampai kita lupa ternyata Pram sudah berkisah sebanyak 11 judul cerita, dan ternyata tanpa sadar kita mengambil tisu karena ada beberapa kisah yang amat menyedihkan. Begitulah kesan sehabis membaca CDB.
Meski berlatar di Blora, Pram lebih menonjolkan sisi batin tokoh-tokohnya ketimbang Blora itu sendiri. Akibatnya imaji antoprogiografi sebagai cerita yang berlatar lokal kurang tergarap. Sisi batin itu justru dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik dan revoulusi. Berlatar waktu sebelum dan sesudah revolusi 45. Beberapa ceritanya secara eksplisit menunjukan latar waktu; saat revolusi. Sehingga kita mudah mengidentifikasi misalnya dalam cerpen  Dia Yang Menyerah.
Sebagian besar cerita lain yang tema keluarga seperti Yang Sudah Hilang, Inem, Sunat, Pelarian Yang Tak Dicari, dan Hadiah Kawin. Sedang cerpen yang termasuk dalam sosial-politik, dan revolusi adalah  Yang Menyewakan Diri, Kemudian Lahirlah Dia, Hidup Yang Tak Diharapkan, Anak Haram, dan Yang Hitam.
Kehidupan domestik yang muram
Merujuk pada KBBI, kata domestik berarti 1. berhubungan dengan atau mengenai permasalahan dalam negeri; 2. mengenai (bersifat) rumah tangga; 3. piaraan (tentang binatang); jinak. Urusan negara dan urusan rumah tangga, bagi Pram saling terkait. Keluarga adalah organisasi terkecil dalam struktur ke-negara-aan. Akibatnya politik, atau pun revolusi, juga budaya (di mana ketiga aktivitas tersebut adalah aktivitas ke-negara-aan), berdampak pula pada kehidupan keluarga. Maka saya menggunakan istilah domestik untuk mempermudah mengidentifikasi tokoh-tokoh rumah tangga seperti: anak, istri, suami, pembantu.
Yang Sudah Hilang, misalnya, menenarasikan keteganagan batin antara suami dan istri. Tokoh istri dalam cerita ini harus rela ditinggal suami berhari-hari karena urusan politik.
Selain narasi ketegangan batin yang dipengaruhi kondisi sosial-politik, ada juga cerita yang menekankan budaya patriarki pada masa itu. Misalnya dalam Inem. Inem digambarkan sebagai sosok gadis, dan lahir dalam keluarga miskin. Bahkan pada usia 8 tahun, Inem harus bekerja. Ia dititipkan pada keluarga priyayi. Dititipkan disini berarti menjadi pembantu.
Hingga pada suatu hari, emaknya datang lagi untuk mengambil si Inem. Kini emaknya merasa Inem sudah saatnya menikah. Inem tak berhak menentukan nasibnya sendiri. Nasib Inem berada ditangan keluarganya. Maka Inem diombang-ambing keadaan di luar dirinya. Keadaan khas patriarki.
"Kami bukan dari golongan priyayi, ndoro. Aku pikir dia sudah ketuaan setahun. Si Asih itu mengawinkan anaknya dua tahun lebih muda daripada aku. (hal. 41)
O, nasib Inem memang sungguh malang. Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Ternyata menikah tak membuat Inem bahagia. Inem dipukuli setiap hari oleh suaminya. Inem yang baru berumur 8 tahun itu tak mengerti tata cara berumah-tangga. Maka akhirnya Inem pun diceraikan.
Inem kalah. Cerita berkhir sedih. Harganya sebagai perempuan dan lebih-lebih sebagai janda, sama dengan harga 'barang'. Maka boleh diperlakukan seperti barang.
Dan kemudian, janda yang berumur sembilan tahun itu karena hanya membebani rumahtangga orangtuanya boleh dipukuli oleh siapa saja yang suka: emaknya, adiknya yang lelaki, pamannya, tetangganya, bibiny. Â (hal. 52)
Beberda dengan tokoh perempuan dalam Pelarian yang Tak Dicari. Jika Inem tak berontak ketika dipukuli, maka Siti tokoh perempuan dalam cerita ini memilih minggat dari rumah saat suaminya memukilnya. Siti sadar akan ke-perempuan-nya sebagai manusia. Bukan sebagai barang. Maka Siti merasa punya otoritas untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun, Siti akhirnya juga harus terjerumus dalam nasib buruk. Dalam pelarian nya yang tak punya uang, membuat Siri harus mencari uang. Maka Siti pun teringat pada orang Tionghoa yang pernah menawarinya untuk menjadi gundik. Datanglah Siti ke rumah Tionghoa itu.
 Orang Tionghoa itu terdiam dan mengamat-amati. Tiba-tiba ia tersenyum dan menjawab: "Ya, ya, aku masih ingat tapi sekarang aku sudah punya gundik. Baru kemarin! Dan lebih cantik!" (hal. 92)
Siti yang ditolak oleh orang Tionghoa itu kemudian mencari kerja lain tapi tetap saja tak jauh-jauh dari istilah per-gundik-an. Ternyata setelah lepas dari suaminya, Siti belum lagi merdeka. Karena tahu bahwa ia tak punya keterampilan maka Siti menyerah pada nasib, menjadi pelacur. Lalu seperti Inem yang akhirnya menyerah, Siti pun menyerah setelah mendapat penyakit di tempat pelacuran, dan akhirnya ia kembali ke rumahnya pada suaminya. Dan se-kembali-nya ke rumah, nama baik Siti sudah tercoreng.
Pramoedya menyelipkan sepenggal autobiografinya
Dari semua cerita di CDB, favorit saya adalah Hadiah Kawin. Masih bertemkana keluarga. Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pengarang kampung.
Di kota kecil kami orang tak punya kesempatan mengembangkan kepribadiannya. Dan ia pun tak tahu bagaimana cara menerbitkan naskah-naskah yang bertumpuk itu. Tulisan-tulisannya tetap beku di lemari. Hidupnya tetap dan bertambah kompal-kampil oleh mengarang. Betapa tidak! Sebagian besar waktunya dipergunakan untuk melarikan diri dari masyarakat yang selalu mengintip untuk jadi kurbannya---ia menulis terus, menulis dan menulis. Dan untuk pengisi usus, ia berjualan barang-barang rombengan atau dengan sebutan yang agak baik sedikit: ia jadi barang tangan kedua---hanya sekadar saja untuk tak mati kelaparan. (hal. 148)
Saya pikir, tokoh utama dalam cerita ini adalah alter-ego dari Pram sendiri. Seseorang yang tinggal di kota kecil yang memilih menjadi pengarang karena baginya mengarang adalah pilihan merdeka. Ia mengarang karena ia ingin jadi pengarang. Memilih nasibnya sendiri. Bahkan rela nyambi kerja yang lain karena mengarang ternyata tidak menghasilkan uang. Terlebih di kota kecil yang tak ada penerbitannya.
Tapi demi kepentingan cerita, akhirnya tokoh dalam Hadiah Kawin berhasil menerbitkan naskahnya. Honor menulisnya dibuatnya untuk menikah. Tapi karena honor mengarang tak seberapa banyak, si tokoh dalam cerita mengkredit hadiah kawinnya. Mengutangnya untuk dilunasi beberapa bulan kemudian. Cerita berlanjut sampai si tokoh di undang ke Jakarta oleh penerbit yang menerbitkan naskahnya. Di sana hampir tergoda untuk selingkuh. Tapi akhirnya ia menahan godaan itu karena istrinya di rumah sedang hamil. Pulang membawa oleh-oleh banyak sekali dari penerbit. Baju-baju bayi. Dan juga membawa hadiah kawin untuk istrinya. Tapi ternyata begitu sampai di rumah; istrinya mati. Kecelakan dan bayi dalam kandungannya ikut mati. Cerita berakhir sedih.
Tokoh utama dalam cerita ini adalah bagian kecil dari kisah hidup Pram sendiri. Sebelum menjadi penulis besar, konon Pram tinggal di rumah mertuanya bersama istrinya. Pram menjalani hidup numpang pada mertua itu dijalaninya selama beberapa tahun. Sama persis dengan tokoh Hadiah Kawin. Yang membedakan mungkin, istri Pram sebetulnya tidak mati seperti dalam cerita itu. Hanya karena kebutuhan romantik-lah, tokoh istri cerita dalam Hadiah Kawin harus mati.
Masa revolusi
Cerita-cerita yang lain bertemakan sosial-politik dan revolusi. Misalnya dalam Dia Yang Menyerah dan Kemudian Lahirlah Dia. Dalam cerita ini jelas latar peristiwanya saat revolusi 45. Tokoh-tokoh dalam ceritanya juga terlibat dalam revolusi 45. Seperti yang dikatakan H.B Jasin dalam pengantarnya "dalam cerita Kemudian Lahirlah Dia dengan jelas terbayang perjuangan kaum nasionalis Indonesia di lapangan sosial dan pengajaran menghadapi pemerintah. Terutama gugatan sosial yang lahir dari perasaan keadilan dan kemanusian adalah kekuatan Pram yang istimewa. Gugatan terhadap kemiskinan, kebodohan, pergundikan dan pelacuran karena kemiskinan."
Setelah membaca CDB yang agak njlimet karena ditulis pada 1950an dengan gaya yang masih klasik, saya pikir kebanyakan cerita-cerita dalam CDB adalah motif keberpihakan Pram terhadap orang-orang kecil. Joesoef Isak menulis dalam epilog buku ini demikian, "Memang benar Pramoedya terikat dan sadar mengikatkan diri untuk selama-lamanya kepada pandangan hidup yang diyakini dengan kukuh: selalu memihak kepada si kecil, kepada rakyat, kepada mereka yang selalu menjadi korban, siapa pun dan dari golongan mana pun. Kepada merea yang menderita akibat penindasan, kekerasan dan kekuasaan sewenang-wenang." Â Karena motif keberpihakan kepada yang kalah ini, akhirnya membikin cerita-cerita dalam CDB, bagi saya, terlalu muram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H