"Kami bukan dari golongan priyayi, ndoro. Aku pikir dia sudah ketuaan setahun. Si Asih itu mengawinkan anaknya dua tahun lebih muda daripada aku. (hal. 41)
O, nasib Inem memang sungguh malang. Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Ternyata menikah tak membuat Inem bahagia. Inem dipukuli setiap hari oleh suaminya. Inem yang baru berumur 8 tahun itu tak mengerti tata cara berumah-tangga. Maka akhirnya Inem pun diceraikan.
Inem kalah. Cerita berkhir sedih. Harganya sebagai perempuan dan lebih-lebih sebagai janda, sama dengan harga 'barang'. Maka boleh diperlakukan seperti barang.
Dan kemudian, janda yang berumur sembilan tahun itu karena hanya membebani rumahtangga orangtuanya boleh dipukuli oleh siapa saja yang suka: emaknya, adiknya yang lelaki, pamannya, tetangganya, bibiny. Â (hal. 52)
Beberda dengan tokoh perempuan dalam Pelarian yang Tak Dicari. Jika Inem tak berontak ketika dipukuli, maka Siti tokoh perempuan dalam cerita ini memilih minggat dari rumah saat suaminya memukilnya. Siti sadar akan ke-perempuan-nya sebagai manusia. Bukan sebagai barang. Maka Siti merasa punya otoritas untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun, Siti akhirnya juga harus terjerumus dalam nasib buruk. Dalam pelarian nya yang tak punya uang, membuat Siri harus mencari uang. Maka Siti pun teringat pada orang Tionghoa yang pernah menawarinya untuk menjadi gundik. Datanglah Siti ke rumah Tionghoa itu.
 Orang Tionghoa itu terdiam dan mengamat-amati. Tiba-tiba ia tersenyum dan menjawab: "Ya, ya, aku masih ingat tapi sekarang aku sudah punya gundik. Baru kemarin! Dan lebih cantik!" (hal. 92)
Siti yang ditolak oleh orang Tionghoa itu kemudian mencari kerja lain tapi tetap saja tak jauh-jauh dari istilah per-gundik-an. Ternyata setelah lepas dari suaminya, Siti belum lagi merdeka. Karena tahu bahwa ia tak punya keterampilan maka Siti menyerah pada nasib, menjadi pelacur. Lalu seperti Inem yang akhirnya menyerah, Siti pun menyerah setelah mendapat penyakit di tempat pelacuran, dan akhirnya ia kembali ke rumahnya pada suaminya. Dan se-kembali-nya ke rumah, nama baik Siti sudah tercoreng.
Pramoedya menyelipkan sepenggal autobiografinya
Dari semua cerita di CDB, favorit saya adalah Hadiah Kawin. Masih bertemkana keluarga. Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pengarang kampung.
Di kota kecil kami orang tak punya kesempatan mengembangkan kepribadiannya. Dan ia pun tak tahu bagaimana cara menerbitkan naskah-naskah yang bertumpuk itu. Tulisan-tulisannya tetap beku di lemari. Hidupnya tetap dan bertambah kompal-kampil oleh mengarang. Betapa tidak! Sebagian besar waktunya dipergunakan untuk melarikan diri dari masyarakat yang selalu mengintip untuk jadi kurbannya---ia menulis terus, menulis dan menulis. Dan untuk pengisi usus, ia berjualan barang-barang rombengan atau dengan sebutan yang agak baik sedikit: ia jadi barang tangan kedua---hanya sekadar saja untuk tak mati kelaparan. (hal. 148)
Saya pikir, tokoh utama dalam cerita ini adalah alter-ego dari Pram sendiri. Seseorang yang tinggal di kota kecil yang memilih menjadi pengarang karena baginya mengarang adalah pilihan merdeka. Ia mengarang karena ia ingin jadi pengarang. Memilih nasibnya sendiri. Bahkan rela nyambi kerja yang lain karena mengarang ternyata tidak menghasilkan uang. Terlebih di kota kecil yang tak ada penerbitannya.
Tapi demi kepentingan cerita, akhirnya tokoh dalam Hadiah Kawin berhasil menerbitkan naskahnya. Honor menulisnya dibuatnya untuk menikah. Tapi karena honor mengarang tak seberapa banyak, si tokoh dalam cerita mengkredit hadiah kawinnya. Mengutangnya untuk dilunasi beberapa bulan kemudian. Cerita berlanjut sampai si tokoh di undang ke Jakarta oleh penerbit yang menerbitkan naskahnya. Di sana hampir tergoda untuk selingkuh. Tapi akhirnya ia menahan godaan itu karena istrinya di rumah sedang hamil. Pulang membawa oleh-oleh banyak sekali dari penerbit. Baju-baju bayi. Dan juga membawa hadiah kawin untuk istrinya. Tapi ternyata begitu sampai di rumah; istrinya mati. Kecelakan dan bayi dalam kandungannya ikut mati. Cerita berakhir sedih.
Tokoh utama dalam cerita ini adalah bagian kecil dari kisah hidup Pram sendiri. Sebelum menjadi penulis besar, konon Pram tinggal di rumah mertuanya bersama istrinya. Pram menjalani hidup numpang pada mertua itu dijalaninya selama beberapa tahun. Sama persis dengan tokoh Hadiah Kawin. Yang membedakan mungkin, istri Pram sebetulnya tidak mati seperti dalam cerita itu. Hanya karena kebutuhan romantik-lah, tokoh istri cerita dalam Hadiah Kawin harus mati.