Kami duduk lesehan di warung itu dan menikmati jagung bakar. Dia suka jagung bakar. Biasanya kalau dia sudah menikmati sesuatu dia akan melupakan hal yang lain. Dan agar dia tidak menyinggung lagi soal permintaannya agar segera dilamar, maka aku bercerita tentang laut.
Aku sudah berulang kali bercerita tentang laut. Tentang ikan-ikan yang terbang ke langit. Tentang nelayan tua yang bertarung dengan monster laut. Atau sepasang kekasih yang bercinta di tengah badai laut. Malam itu sebetulnya tidak indah, gedung-gedung menutupi rembulan dan  bintang, dan aku tak bisa menunjukkan rasi bintang yang menuntun para  pelaut. Dan sebetulnya cerita itu kubuat-buat, tapi tiap mendengar ceritaku, wajah pacarku menjadi berbinar. Aku senang melihatnya. Aku senang karena dia melupakan soal lamaran.
Ketika kami hendak pulang dan membayar kepada penjual jagung bakar, aku melihat tangan penjual itu bergerak seperti robot. Ketika aku amati ternyata penjual itu menjadi logam. Penjual jagung bakar  itu bergerak-gerak seperti robot dan tidak menghiraukan aku.
Aku menengok ke arah pacarku ternyata ia juga menjadi robot dan tubuhnya menjadi logam. Aku memegang tangannya tapi ia hanya bergerak-gerak seperti robot. Dia juga tidak menghiraukan aku.
Lantas aku pergi dari tempat itu. Aku terkejut menyaksikan seluruh orang di sekitarku menjadi robot, di jalan, di toko, Â di mana-mana. Semua bergerak-gerak seperti robot. Seluruh kota jadi robot. Aku pergi dari tempat itu dengan sedikit berlari meninggalkan mereka. Meninggalkan pacarku yang jadi robot.
Aku  menghentikan lariku ketika melihat kuburan di samping jalan, lalu aku menuju ke kuburan itu. Kuburan yang dipenuhi batu nisan bertuliskan angka-angka. Semua robot bakal dikubur di sini, pikirku. Sendangkan di belakangku mereka terus bergerak. Seolah mereka mengejarku, ingin melindas dan mendesak. Langkah mereka menghasilkan bunyi berdentang-dentang membikin kupingku nyeri.
Keringat mengucur di pelipisku. "Kamu mengalami mimpi buruk lagi, Mas!" kata istriku nampak gugup. Dia menyodorkannya air putih untukkuÂ
"Ya, betul. Aku mimpi buruk lagi."
Kini kami sudah jadi suami istri. Temanku yang menggemari W.S Rendra menolongku pada waktu yang tepat. Dengan jaringan yang luas dari bapaknya, aku bisa bekerja menjadi wartawan di sebuah surat kabar. Setelah itu aku bisa melamar pacarku dan  orangtuanya mengijinkan kami menikah. Namun malam-malamku masih seperti dulu. Aku sering mendapat mimpi buruk.
Surat kabar tempatku bekerja adalah milik seorang pejabat. Kami dituntut untuk menulis berita-berita bagus tentang pejabat itu. Menggiring opini publik agar citranya baik. Bahkan ketika dia korupsi. Itulah yang sering mengganggu pikiranku. Tapi aku berusaha untuk bertahan seperti yang dinasehatkan teman kerjaku, "Dulu awal kerja di sini aku juga sering mimpi buruk. Â Kalau sudah terbiasa lama-lama mimpi itu akan hilang sendiri," katanya.
Tapi aku sudah bekerja lima tahun di surat kabar itu, dan setiap malam aku masih dihantui mimpi buruk. Makin hari mimpiku makin aneh seperti dikutuk-sumpahi Eros [4].(*)