Inilah yang dimaksud sebuah hukum sebagai alat kepentingan politik, dimana sebuah hukum dibentuk asalkan memenuhi prosedural pembuatan hukum, tanpa melihat suatu sumber hukum yang sangat dasar, yaitu konstitusi. Padahal jika kita melihat lebih dalam, di dalam konstitusi mengandung cita-cita dan tujuan bersama dalam penyelenggaraan negara dan terciptanya sebuah negara.Â
Saya kira, Bodoh sekali jika kekuasaan legislatif, membuat suatu undang-undang, tetapi isi dan kaedah undang-undang tersebut sangatlah bertentangan dengan UUD sebagai Konstitusi bernegara. Berarti secara tidak langsung, legislatif merusak tujuan dan cita-cita bernegara dengan produk-produk hukum yang bertentangan dengan dasar Konstitusi.Â
Untunglah karena keberadaan suatu problematik itu, terciptalah kekuasaan pada kekuasaan Yudikatif, atau biasa disebut Mahkamah Konstitusi, untuk mencabut atau menghapus kata demi kata yang bertentangan dengan Konstitusi.Â
Oleh sebab itu, Prof. Jimly Assiddiqie, sebagai salah satu Guru besar dan Ahli hukum tata negara yang berkompeten sekaligus mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI ke 1, mengatakan, "Mahkamah Konstitusi adalah merupakan tempat uji produk gagal DPR (Legislatif).
Dalam faktanya, banyak peraturan hukum yang sangat tidak memiliki nilai keadilan, baik secara norma moral, ataupun secara ideologis perspektif dan interpretasi, tetapi karena sudah menjadi hukum positif, hukum itu tetap mengikat kepada siapa saja. Tetapi, tidak semua peraturan hukum yang ada disuatu negara mengandung unsur ketidak adilan. Banyak sarjana hukum mengungkapkan, bahwa kebenaran sejati tentang keadilan hukum tidak akan pernah tercapai, karena tidak ada yang tau pasti, mana ukuran hukum yang mencakup keadilan secara komulatif dan bukan relatif.Â
Oleh sebab itu, para sarja hukum sepakat, bahwa hukum adalah hukum selama hukum itu merupakan hukum positif. Walaupun secara pragmatis benar bahwa hukum itu tidak mengandung unsur keadilan, tetapi siapa saja harus mengukuti hukum itu, selama hukum itu masih mengikat. Dengan begitu, banyak pakar dan ahli hukum yang mengenyampingkan keadilan dan lebih mementingkan norma hukum. Karena tidak ada yang tau sebuah ukuran dari keadilan. Sejauh ini keadilan masih bersifat relatif karena bersifat ideologis dalam dunia dewasa ini. Yang benar-benar tahu keadilan hanyalah yang maha tau, yaitu Tuhan. Oleh karena itu nilai-nilai hukum pada dunia dewasa ini hanyalah mengandung sebuah kepastian hukum, dan kemanfaatan Hukum, serta keadilan yang bersifat ideologis, perspektif dan interpretasi dari pembuat undang-undang atau peraturan hukum tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H