(Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam)Â Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.Â
Dalam kehidupan dewasa ini, hukum sering kali digunakan sebagai alat kepentingan para penguasa. Tetapi jika melihat dari pada ilmu ketata negaraan, sebuah negara yang berani mengatakan bahwa dirinya adalah negara hukum, berarti negara itu memiliki suatu hukum yang membatasi kekuasaan pemerintahaanya.Â
Jika melihat konteks kenegaraan, pastinya di dalam konstitusi, di negara itu sendiri, memiliki tugas dan wewenang yang bersifat mutlak, independent, dan kekuasaanya, dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu.
Bagi negara yang menganut trias politica, pastilah pembuat undang-undang adalah si penguasa legislatif, dan disetujui oleh kekuasaan eksekutif. Menurut Hans Kelsen, konsep hukum seringkali secara luas digunakan dengan mengalami bias Politik dan bias Ideologis.Â
Prof. Mahfud MD sebagai Guru besar dan ahli Hukum tata negara yang berkompeten, dan sebagai ketua Mahkamah Konstitusi RI yang ke 2, sekaligus sedang menjabat sebagai Menkopolhukam RI, mengatakan di dalam salah satu bukunya.
Dalam konteks pembuatan hukum atau peraturan perundang-undangan, "Pastilah sebuah hukum adalah suatu produk politik". jika didengar oleh masyarakat awam bisa menjadi suatu persoalan. Sebab pernyataan tersebut memposisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik.Â
Apalagi dalam tataran ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang menganut supremasi hukum, politiklah yang harus diposisikan sebagai variable yang terpengaruh (Dependent variable) oleh hukum.
Hukum yang determinan atas politik ataukah politik yang determinan atas hukum? Menurut Prof. Mahfud MD, secara metodologis ilmiah, sebenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, semuanya benar, tergantung pada asumsi dan konsep yang digunakan.Â
Dengan asumsi dan konsep tertentu satu pandangan ilmiah dapat mengatakan bahwa hukum adalah produk politik, tetapi dengan asumsi dan konsep tertentu yang lain satu pandangan ilmiah dapat mengatakan sebaliknya, bahwa politik adalah produk hukum.
Dalam faktanya, jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik.Â
Sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Itulah sebabnya von Kirchman mengatakan bahwa karena hukum merupakan produk politik maka kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang tak berguna jika lembaga legislatif mengetokkan palu pencabutan atau pembatalanya.