Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Selalu Ada "Gorengan" Menjelang Pemilihan Presiden

3 Desember 2018   00:36 Diperbarui: 3 Desember 2018   00:58 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.kompas.tv

Beberapa bulan lagi, bangsa Indonesia menghelat hajat Nasional. Menentukan 'Imam' seluruh rakyat Indonesia. Pemilihan Presiden (Pilpres) melalui Pemilu. Yang langsung oleh rakyat.

Terhitung, bukan kali ini saja bangsa Indonesia telah menggelar Pilpres secara langsung. Beberapa kali Indonesia sudah pernah memiliki 'pengalaman' sebagai penyelenggara event 5 tahunan tersebut.

Meski belum berlangsung, gaungnya seolah terasa dari sekarang. Sambutan khas ala iklim demokrasi. Pesta rakyat, demikian sebagian kalangan menyebut.


Ber-pesta kah rakyat? Atau menjadi ajang saling hujat?

Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tagline makna demokrasi yang sejak di bangku sekolah diajarkan. Mendudukkan rakyat pada posisi 'penguasa'. Penentu arah kebijakan negara.

Tentu, dengan kesadaran berpikir bahwa demokrasi bukan hanya mencakup secara langsung (direct democracy), namun juga demokrasi perwakilan (indirect democracy). Indonesia, gambaran negara yang salah satunya mengakui sistem demokrasi perwakilan.

Keduanya masih berpangkal pada rakyat. Maka, tidak salah jika pesta demokrasi diidentikkan dengan pesta rakyat. Rakyat 'dimanja' dengan bebas menentukan pilihan politiknya.

LUBER, prinsip yang diakui keberadaannya, namun dalam praktik tidak begitu nampak eksistensinya. Media sosial yang kian menjamur seolah-olah menjadi sarana ekspresi yang tanpa batas. Bahkan, privacy seringkali dicurahkan melalui media sosial, termasuk pilihan politik.

Sepertinya memang itulah salah satu gambaran pesta rakyat. Namun demikiankah esensinya? Keberhasilan pemilu sejatinya tolok ukur keberhasilan demokrasi. Demikian halnya kedewasaan rakyat terhadap proses politik.

Tidak jarang, yang saat ini terjadi, akibat perbedaan pilihan politik justru mengoyak pagar persatuan. Mereka yang tidak berada pada satu barisan politik dianggap lawan.

Bagi politisi, yang demikian adalah hal biasa. Berbeda dengan masyarakat awam yang terkadang cenderung membawa perbedaan hingga pada sendi-sendi kehidupan sosialnya.

Sebagai salah satu pengguna media sosial, jujur saya miris. Betapa menyebar kata-kata tak pantas, tak mencerminkan etika ketimuran berseliweran di dunia maya. Ujung-ujungnya hanya karena perbedaan pandangan politik.

Dua Kubu, Rentan Gesekan

Tidak dapat dipungkiri, jangankan sekelas pencalonan presiden-wakil presiden, pemilihan kepala desa jika hanya dua kontestan sangat mudah tersulut gesekan. Menyuarakan perbedaan sudah dianggap pro salah satu kubu. Inilah realitas.

Kondisi tersebut jelas berbeda jika ada kontestan penyeimbang. Artinya, tidak hanya dua kubu yang saling berhadapan. Sedikit lebih susah menebak arah politik. Sedikit minim juga tingkat gesekan antar golongan.

Terlepas berapa dan siapa kontestan Pilpres 2019, persatuan dan kesatuan bangsa harus didudukkan dalam porsi prioritas. Pilpres bukan untuk memecah belah bangsa. Pilpres untuk membangun masa depan bangsa yang berperadaban.

Adapun hanya dua kontestan yang saat ini muncul, menjadi pekerjaan rumah masing-masing individu untuk saling memproteksi terjadinya gesekan.

Ganti Hari, Ganti Topik

Nampaknya tiada hari tanpa topik baru sudah menjadi trend. Bahkan seakan-akan sengaja 'dijadikan' ajang meraup popularitas. Hampir setiap tindakan para kontestan tak luput dari komentar.

Mereka yang berada pada satu baris komando politik, sedapat mungkin membela 'mati-matian' untuk membenarkan tindakan calonnya yang dianggap salah oleh kubu lain. Demikian juga sebaliknya.

Sehat-kah?

Ada dua sisi. Satu sisi ide kreatif banyak bermunculan. Di sisi lain, kreatifitas tanpa batas juga kadang tak menyehatkan iklim demokrasi. Malah cenderung pada pembunuhan karakter. Tentu yang demikian jelas tidak sehat dan tidak mencerdaskan generasi bangsa.

Bahkan, pada tataran yang personal sekalipun tak luput dari sorotan. Ibadah misalnya. Merupakan kebebasan yang konstitusional. Hak Asasi yang terjamin pelaksanaannya oleh UUD 1945. Memangnya yang demikian harus dilontarkan komentar?

Lebih parah lagi terhadap kontestan. Segala informasi sedetail-detailnya sedapat mungkin dikupas. Dibuka ke ruang publik. Kejelekan-kebaikan personal yang sama sekali tidak korelatif dengan kedudukan yang akan mereka emban. Apa ya demikian etikanya?

Upaya demokrasi dengan menghadirkan tokoh berkualitas di negeri ini sudah di ujung tanduk kerusakan. Bisa dibayangkan, jika hal demikian dibiarkan berkembang bebas, warga negara akan merasa takut ketika terjun di dunia politik. Takut akan bayang-bayang hujatan, cacian dan makian dari mereka yang berseberangan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun