Terdapat beberapa poin penting yang menjadi perhatian serius pemerintah berkaitan penegakan hukum di Indonesia. Terlebih, agenda reformasi sistem penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya menjadi salah satu isi "Nawa Cita" pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla. Lebih jauh, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 setidaknya ada 42 prioritas utama mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan.
Salah satu dari sekian banyak persoalan sistem dan penegakan hukum di Indonesia menuntut adanya peran negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban. Pada tahun 2006, negara hadir dengan mengundangkan UU Nomor 13 Tahun 2006 (UU 13/2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Berdasarkan itu pula, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbentuk. Lembaga ini diharapkan mampu menjadi 'kepanjangan tangan' negara untuk berperan di bidang pemberian perlindungan hukum terhadap saksi dan korban.
UU 13/2006 dalam perjalanannya dinilai masih terdapat kelemahan. Termasuk dalam hal kejelasan kewenangan LPSK disamping permasalahan prinsip lain. Pada tahun 2014, melalui UU Nomor 31 Tahun 2014 (UU 31/2014), UU 13/2006 pun mengalami perubahan. UU 31/2014 disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014, ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Secara politis, konstalasi perubahan UUPSK (UU 13/2006 jo UU 31/2014) belum termasuk realisasi agenda pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Pun, setidaknya dari sisi yuridis telah ada kemajuan signifikan sehubungan dengan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban.
Berkaitan dengan whistle-blowing system, diatur mengenai imunitas pelapor tindak pidana. Hal ini nampak pada Pasal 10 UUPSK. UU 31/2014 menambah domain perlindungan tidak hanya saksi, korban dan pelapor saja, namun juga pada saksi pelaku (justice collaborator). Disebutkan bahwa Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik (Pasal 10 ayat (1) UUPSK).
Urgensi Imunitas Whistle-BlowerÂ
Perbincangan mengenai whistle-blower mengemuka seiring dengan peran sentralnya mengungkap tindak pidana. Etimologi whistle-blower dalam bahasa Inggris berarti peniup peluit. Istilah ini dimaknai sebagai pihak/subyek tertentu yang membantu mengungkapkan fakta dalam proses penegakan hukum kepada pihak yang berwenang.
Normatif, penjelasan umum UU 31/2014 menyamakan definisi whistle-blower dengan pelapor. Yakni, orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.
Manganalogikan istilah hak imunitas anggota DPR sebagaimana tertuang pada Pasal 20A ayat (3) UUD NRI 1945, yang secara lebih rinci diatur pada UU MD3, Pasal 16 UU Advokat maupun ketentuan serupa lainnya, pelapor (whistle-blower) pada Pasal 10 UUPSK eksplisit mengandung adanya hak imunitas. Secara mendasar, immunis dalam bahasa latin berarti hak istimewa. Konteks masyarakat pada umumnya memaknai sebagai kekebalan. Dalam hal ini, pemberian hak istimewa terhadap pelapor untuk tidak dituntut di muka persidangan atas laporan yang diberikan.
Sebagaimana tersurat pada konsideran menimbang huruf b UUPSK, legal immunity pelapor ditujukan untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi.
Dengan tidak menyimpangi prinsip equality before the law, Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI secara filosofis dapat digunakan sebagai landasan adanya hak imunitas bagi whistle-blower. Jadi jelas, pembentuk hukum telah mendasarkan pemberian hak imunitas terhadap pelapor berdasarkan kajian filosofis, yuridis maupun empiris.
Faktanya, penulis justru melihat adanya antinomi dalam pemberian imunitas bagi pelapor menurut UUPSK. Pasal 10 ayat (1) UUPSK hemat penulis terdapat imunitas bersyarat. Dalam hal ini, secara pokok pelapor tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas laporan yang diberikan. Namun, mensyaratkan bahwa laporan disampaikan dengan I'tikad baik (definisi rinci tentang I'tikad baik terdapat dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUPSK).
Anehnya, pada Pasal 10 ayat (2) UUPSK dengan frasa "Dalam hal terdapat tuntutan hukum..." justru seolah-olah masih membuka ruang tuntutan hukum terhadap whistle-blower yang beri'tikad baik. Kondisi semacam ini jelas mengaburkan maksud dan tujuan pembentuk hukum dalam menormakan prinsip imunitas pada UUPSK.
Optimalisasi Sumber Daya LPSK
Pada awal tulisan ini, penulis sedikit menyinggung "Nawa Cita" pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, tidak lain sebagai bentuk optimisme bahwa masih ada ruang penguatan sisi kelembagaan LPSK melalui jalur internal kebijakan pemerintahan. Program prioritas dalam hal penegakan hukum tidak ada kata terlambat diwujudkan.
Perlindungan hukum terhadap whistle-blower yang juga menjadi koridor kewenangan LPSK memerlukan penataan sistematis-yuridis. Secara sistematis, melihat jumlah permasalahan hukum yang ada di masyarakat demikian banyaknya, daya dukung kelembagaan LPSK di daerah sebagaimana amanat Pasal 11 UUPSK selayaknya segera diwujudkan dengan berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2016.
Di sisi lain, kajian akademis tentang bentuk perlindungan hukum terhadap whistle-blower menurut Pasal 10 UUPSK harus segera dilaksanakan sebagai rekomendasi ius constituendum. Selain itu, antinomi dalam pengaturan hukum bisa berdampak pada kesulitan operasionalitas aturan hukum itu sendiri.
UUPSK perlu dijadikan sebagai payung hukum khusus (specialis) sehubungan dengan teknis perlindungan hukum pada whistle-blower. Pengaturan sektoral terkadang juga menjadi kendala teknis, antara lain berkaitan pada lembaga mana yang berwenang menangani.
Menyikapi problem semacam ini, LPSK yang secara atributif yang jelas-jelas memiliki kewenangan seyogianya melakukan koordinasi lintas institusi penegak hukum guna mewujudkan sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) berjalan konsekuen. Seringkali ketidaksepahaman antar institusi justru menjadi kendala substantif mencapai  kemudahan akses terhadap keadilan (access to justice).
LPSK yang kuat, akan mendorong masyarakat tanpa rasa takut dan khawatir untuk mengungkapkan perkara hingga tuntas pada aktor intelektualnya (intelectual daader). Hal ini sebenarnya juga menjadi poin inti penegakan hukum yang bermartabat sesuai "Nawa Cita". Tentu, dari aspek pendanaan pemerintah perlu menganggarkan khusus sebagai konsekuensi logis pencapaian tujuan bersama tersebut.
Penulis secara pribadi berharap, kedepan LPSK akan menjadi lembaga sentral yang turut membantu mengawal penuntasan perkara pidana baik saat penyelidikan dan penyidikan, penuntutan di pengadilan hingga pelaksanaan putusan. Dengan begitu, fungsi pelayanan LPSK kepada masyarakat akan berjalan optimal sesuai yang diharapkan.
***
Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H