Faktanya, penulis justru melihat adanya antinomi dalam pemberian imunitas bagi pelapor menurut UUPSK. Pasal 10 ayat (1) UUPSK hemat penulis terdapat imunitas bersyarat. Dalam hal ini, secara pokok pelapor tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas laporan yang diberikan. Namun, mensyaratkan bahwa laporan disampaikan dengan I'tikad baik (definisi rinci tentang I'tikad baik terdapat dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUPSK).
Anehnya, pada Pasal 10 ayat (2) UUPSK dengan frasa "Dalam hal terdapat tuntutan hukum..." justru seolah-olah masih membuka ruang tuntutan hukum terhadap whistle-blower yang beri'tikad baik. Kondisi semacam ini jelas mengaburkan maksud dan tujuan pembentuk hukum dalam menormakan prinsip imunitas pada UUPSK.
Optimalisasi Sumber Daya LPSK
Pada awal tulisan ini, penulis sedikit menyinggung "Nawa Cita" pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, tidak lain sebagai bentuk optimisme bahwa masih ada ruang penguatan sisi kelembagaan LPSK melalui jalur internal kebijakan pemerintahan. Program prioritas dalam hal penegakan hukum tidak ada kata terlambat diwujudkan.
Perlindungan hukum terhadap whistle-blower yang juga menjadi koridor kewenangan LPSK memerlukan penataan sistematis-yuridis. Secara sistematis, melihat jumlah permasalahan hukum yang ada di masyarakat demikian banyaknya, daya dukung kelembagaan LPSK di daerah sebagaimana amanat Pasal 11 UUPSK selayaknya segera diwujudkan dengan berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2016.
Di sisi lain, kajian akademis tentang bentuk perlindungan hukum terhadap whistle-blower menurut Pasal 10 UUPSK harus segera dilaksanakan sebagai rekomendasi ius constituendum. Selain itu, antinomi dalam pengaturan hukum bisa berdampak pada kesulitan operasionalitas aturan hukum itu sendiri.
UUPSK perlu dijadikan sebagai payung hukum khusus (specialis) sehubungan dengan teknis perlindungan hukum pada whistle-blower. Pengaturan sektoral terkadang juga menjadi kendala teknis, antara lain berkaitan pada lembaga mana yang berwenang menangani.
Menyikapi problem semacam ini, LPSK yang secara atributif yang jelas-jelas memiliki kewenangan seyogianya melakukan koordinasi lintas institusi penegak hukum guna mewujudkan sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) berjalan konsekuen. Seringkali ketidaksepahaman antar institusi justru menjadi kendala substantif mencapai  kemudahan akses terhadap keadilan (access to justice).
LPSK yang kuat, akan mendorong masyarakat tanpa rasa takut dan khawatir untuk mengungkapkan perkara hingga tuntas pada aktor intelektualnya (intelectual daader). Hal ini sebenarnya juga menjadi poin inti penegakan hukum yang bermartabat sesuai "Nawa Cita". Tentu, dari aspek pendanaan pemerintah perlu menganggarkan khusus sebagai konsekuensi logis pencapaian tujuan bersama tersebut.
Penulis secara pribadi berharap, kedepan LPSK akan menjadi lembaga sentral yang turut membantu mengawal penuntasan perkara pidana baik saat penyelidikan dan penyidikan, penuntutan di pengadilan hingga pelaksanaan putusan. Dengan begitu, fungsi pelayanan LPSK kepada masyarakat akan berjalan optimal sesuai yang diharapkan.
***