Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pesantren, Antara Eksistensi dan Rekognisi

20 Oktober 2018   00:30 Diperbarui: 20 Oktober 2018   13:49 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Landasan yang dipakai itu inklusif, terbuka, dan mampu mengambil hal-hal baru untuk menerima perkembangan yang baru untuk kebaikan, sehingga pesantren bisa mengikuti arus modernitas, ataupun globalisasi, baik dalam hal pemikiran Islam, praktik pendidikan dan interaksi antar golongan. 

Pesantren banyak melahirkan tokoh-tokoh lokal maupun nasional yang pemikirannya inklusif dan moderat. Islam yang dibawa dan dikembangkan adalah Islam yang ramah, moderat, toleran dan sarat dengan nilai-nilai multikultural (Marzuki, 2010).

Kemudian Badrus Sholeh melihat pesantren mampu menyatu antara kajian Islam Timur Tengah bersama dengan tradisi lokal dan masyarakat. Penyatuan tradisi ini membuat karakteristik Islam Indonesia berbeda dengan Islam Timur Tengah ataupun yang lainnya. 

Pesantren mempunyai peran strategis lain selain berperan sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu mengembangkan perdamaian dan mewarnai perjalanan peradaban di sekitarnya. 

Penelitian yang dilakukan Badrus Sholeh ini untuk mengetahui peran pesantren secara dekat dalam hal peran pesantren sebagai titik temu sebuah perdamaian konflik sosial dan akulturasi dengan kearifan lokal (Badrus Sholeh, 2005:327-347).

Prinsipnya, pembicaraan pada tataran nilai baik dari segi budaya maupun peradaban pesantren sungguh kompleks dan tidak ada habisnya. Bahkan penulis dapat katakan, pesantren merupakan cerminan mewakili nilai yang berkembang di masyarakat, sebab hakikatnya pesantren pun ada dan hidup di tengah kehidupan masyarakat. 

Mengidentifikasi pesantren dengan mengintegrasikan pada elemen peraturan perundang-undangan sebenarnya menyempitkan cakupan yang "diemban" oleh pesantren. Namun juga tidak dapat disalahkan, jika langkah-langkah akomodatif pesantren pada sistem hukum nasional dianggap sebagai upaya menjamin kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan hukum. Meskipun kepastian hukum dan keadilan sebagai tujuan hukum masih menjadi dua kutub yang berlainan (antinomi).

Dalam konteks sistem hukum nasional, memayungi tindakan publik dengan produk hukum hampir dapat dipastikan menjadi keharusan. Apalagi pada hal-hal yang berkaitan dengan anggaran. Ini pun, penulis cermati juga menjadi bagian yang melatarbelakangi lahirnya RUU LPKP. 

Penulis memang tidak menyinggung secara konseptual substansi RUU LPKP mengingat terdapat beberapa versi (karena memang masih dalam taraf pembahasan). Sedapat yang penulis ketahui, salah satu hal yang didengungkan pada RUU LPKP adalah adanya alokasi anggaran sebanyak 10% dari APBN maupun APBD untuk pendidikan. Memang, dalam hal anggaran perlu adanya kejelasan payung hukum.

Secara teoretis, pengakuan dapat berbentuk de facto maupun de jure. Terminologi pesantren, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah disebut-sebut. Khususnya pada bagian pendidikan keagamaan. 

Menurut penulis, penyebutan frasa pesantren pada UU Sisdiknas juga merupakan pengakuan. Selain pengakuan-pengakuan oleh negara sebagaimana telah penulis uraikan di awal pembahasan sub ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun