Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Liwetan, Tradisi Santri yang Terlupakan

18 Oktober 2018   01:19 Diperbarui: 18 Oktober 2018   01:49 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masak dan makan bersama-sama dalam satu 'nampan' atau yang lazim disebut 'liwetan', bukan merupakan hal yang aneh bagi santri. Bahkan sudah menjadi ciri khas santri saat berada di pondok pesantren. Liwetan sering diidentikkan dengan tradisi 'santri kuno' yang tidak bisa dilepaskan dari kedudukannya.

Maka tidak jarang, santri dulu saat berangkat dari rumah selalu dibekali beras, bumbu dan sayur-sayuran, disamping bekal bawaan untuk dihaturkan kepada Kyai. Wali santri jaman dulu pun sama. Saat 'sambang' (menjenguk) anaknya di pesantren, dari kejauhan sudah kelihatan membawa 'kantongan' berisi beras. Kadang juga dipikul.

Nuansa semacam ini seakan mulai luntur. Jarang sekali dijumpai santri ketika datang dari rumah membawa kantongan berisi beras. Demikian halnya dengan orang tua. Saat sambang, mereka pun tak nampak berbondong-bondong dengan barang bawaan di karung.

Sebenarnya ada sisi positif santri dengan 'liwetan' yang menjadi ciri khas kesehariannya. Meskipun sebagian kalangan menganggap ketinggalan zaman (kuno) dan merepotkan, namun hakikatnya melalui media 'liwetan' santri digembleng untuk hidup mandiri. Hidup yang siap berdiri sendiri saat nantinya terjun di masyarakat. Tidak menggantungkan dan merepotkan pihak lain.

Orang Jawa lazim merumuskan kebutuhan primer manusia dengan sandang, pangan dan papan. Kebutuhan primer ini oleh pesantren berusaha ditransformasikan kepada santri melalui beragam cara. 

Sandang, santri saat di pesantren mau tidak mau mencuci dan menyiapkan baju sendiri. Pangan, ada tradisi santri berupa 'liwetan'. Sedangkan papan, di dunia pesantren, tempat pemondokan (gotha'an) mutlak menjadi tanggung jawab masing-masing santri dalam hal kebersihan maupun keamanannya.

Nilai-nilai kemandirian ini terlihat mulai bergeser. Inilah yang saya rasakan. Kebetulan saya sejak lahir juga sudah bersentuhan dengan dunia santri, sehingga dapat membandingkan. Kini, baik orang tua maupun santri lebih bangga jika dari rumah tidak membawa bekal kantong beras. Mereka menilai lebih praktis dengan membawa bekal amplop berisi uang.

'Liwetan' bahkan mulai tak lagi dikenal. Santri sekarang lebih kenal 'indekos' untuk urusan makan daripada masak sendiri. Padahal zaman dulu, sebelum kompor populer, setiap akan 'ngeliwet', para santri harus bersusah payah mencari kayu bakar. Beruntung jika musim kemarau. Kalau musim penghujan, mencarinya pun tak gampang.

Lebih aneh lagi saat ada orangtua datang, pasrah kepada Kyai, namun urusan makan anaknya diupayakan indekos. Tidak 'ngeliwet'. Alasannya supaya tidak merepotkan anak. Supaya anak lebih konsentrasi belajar agama. 

Begitulah kira-kira yang sering terdengar. Tidakkah mereka sadar jika pembelajaran agama di pesantren sudah sejak sekian tahun lamanya. Kurikulum dan media pembelajaran juga tetap. Bedanya, santri dulu ngeliwet sekarang tidak.

Meskipun demikian, santri dulu tak sedikit yang 'ngalim' di bidang agama. Bahkan banyak yang ketika lulus dari pesantren juga memiliki santri dan pondok. Secara ekonomi pun kecukupan (tidak kekurangan).

Ada makna emansipasi dalam 'liwetan'. Tidak melulu hanya dilakukan oleh santri putri saja. 'Liwetan' bahkan kental dengan santri putra. Santri putra yang sudah lulus dan beristri, tidak sedikit yang tidak canggung kala berhubungan dengan urusan dapur. 

Sebaliknya, santri putri yang saat di pesantren sudah terbiasa dengan tradisi 'liwetan', tidak canggung saat harus mengemban amanah sebagai 'komandan' dapur di dalam kehidupan rumah tangga.

Kebersamaan saat makan hasil 'liwetan' juga menunjukkan betapa nuansa persaudaraan antar santri terjalin. Meski hanya berlauk sederhana, rasanya hasil 'liwetan' mengalahkan restoran berbanderol mahal sekalipun. Menerima apa adanya. Tidak neko-neko.

Proses ngeliwet yang njelimet juga melatih kedisiplinan santri. Para santri harus bisa mengatur sebaik mungkin agar ngeliwet dan ngaji tidak saling berbenturan. Itupun mengandung makna yang dalam jika diurai. Kini, meskipun masih ada santri yang ngeliwet, jumlahnya tidak sebanyak zaman dulu. Bahkan tidak jarang, santri putri kini tidak mahir masak hanya gara-gara tidak terbiasa ngeliwet saat di pesantren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun