Wabah pandemi virus Novel corona ( noted : covid-19, corona virus disease-2019 ), tidak hanya membuat kepanikan di sebagian besar masyarakat dunia, tapi juga terbukti secara klinis membuat heboh masyarakat di negeri ini.Â
Betapa tidak heboh, hampir disetiap lapisan masyarakat membicarakan virus Corona ini melalui media sosial dan obrolan pinggir jalan. Karena sering dibahas, akhirnya banyak dari masyarakat yang khawatir dan panik akan terkena dampak langsung dari wabah penyakit ini.
Bagi masyarakat umum, harapan mereka untuk dapat menanggulangi dampak penyebarluasan wabah pandemi virus tentunya di mandatkan sepenuh nya  kepada pemimpin negeri ini.
Walaupun nanti kenyataan dalam penerapan nya di lapangan sudah pasti harus melibatkan peran serta masyarakat luas untuk bersama-sama melakukan pencegahan dan penangkalan agar wabah virus tidak semakin menyebar luas.
Kalau ingat masa lalu, negeri ini dulu pernah mengalami beberapa kali serangan wabah pandemi penyakit yang disebabkan oleh virus. Sebut saja tahun 2003, saat itu wabah pandemi virus SARS ( noted : Severe Acute Respitory Syndrom, penyakit/sindrom pernafasan parah akut, yang juga disebabkan oleh virus corona ). Lalu di sekitar tahun 2005, Indonesia juga di bombardir oleh serangan wabah virus penyakit Avian Influenza ( noted : AI, yang terkenal dengan nama flu burung, dan disebabkan oleh virus H5N1 ). Kemudian di tahun 2009, negeri +62 ini kembali diserbu oleh wabah virus penyakit yang juga menjadi pandemi di seluruh dunia, yaitu virus MERS ( noted : Middle East Respitory Syndrom, penyakit/sindrom pernafasan Timur Tengah, yang juga sama penyebab nya yaitu virus corona ). Ini belum termasuk kasus-kasus serangan wabah penyakit yang juga pernah mampir di Indonesia, seperti wabah virus flu Hongkong dan wabah virus flu Babi.
Baiklah, kembali ke laptop. Secara normal, naluri masyarakat umum, disaat terjadi nya kejadian luar biasa wabah pandemi virus penyakit, yang mereka inginkan tentunya keadaan dan situasi yang kondusif, tenang dan aman. Jika dilihat dari data dan pengalaman masa lalu, saat terjadi nya wabah pandemi virus SARS ( 2002-2003 ), Flu burung ( 2005-2007 ) maupun MERS ( 2009 ), masyarakat luas secara umum tidak mengalami gejolak sosial yang berarti, mereka tidak terlalu khawatir yang berlebihan apalagi sampai panik.
Mereka menyikapi nya dengan kewaspadaan yang sangat-sangat wajar, jauh dari kepanikan dan kekacauan mental ( noted : paranoid ). Tidak pernah ditemui pada saat itu masyarakat yang kesulitan mencari masker di pasaran, panic buying terhadap hand sanitizer, alkohol murni, disinfektan, bahan-bahan makanan, Â dan bahkan sampai menutup rumah-rumah ibadah di lingkungan masyarakat.
Masyarakat pada masa itu juga tidak latah dan tidak ikut-ikutan heboh dengan ribut teriak-teriak menyuarakan lockdown. Padahal belum tentu juga paham apa lockdown itu, hehe. Asal anda tahu saja, wabah virus saat itu ( noted : SARS/Flu burung/dan MERS ) pun masuk dalam kategori extraordinary masif pandemic atau KLB ( noted : Kejadian Luar Biasa ). Walaupun jika dilihat dari data grafik percepatan dampak penyebaran, virus corona 19 saat sekarang ini lebih cepat dan banyak orang yang dilaporkan terkonfirmasi positif, dibandingkan data wabah pandemi virus sebelum nya. Namun kenyataan nya wabah pandemi virus pada saat itu, SARS/Flu burung/MERS memiliki tingkat fatalitas kematian yang lebih tinggi dibanding saudara nya virus corona 19 sekarang.
Beda masa tentu saja berbeda juga cara metode kepemimpinan nya. Berbeda dalam arti yang sangat luas. Tentu saja berbeda manusia nya, berbeda cara memimpin nya, berbeda karakter pribadi nya, berbeda visi misi nya, berbeda arah kebijakan nya dan berbeda rivalitas elit nya sampai akar rumput nya. Hehe.
Sangat sederhana sebenarnya memetakan keadaan yang kurang lebih sama antara saat itu dan sekarang dalam menangani wabah pandemi virus penyakit. Dari yang sudah disebutkan di atas, paling tidak dapat mendapatkan sedikit petunjuk, apa saja yang membuat, saat itu dan sekarang berbeda sangat mencolok dalam hal melakukan penanganan nya.
Sedikitanya ada dua faktor yang sangat berpengaruh penting kepada implementasi cara penanganan kasus wabah pandemi virus penyakit saat itu dan sekarang. Dua faktor ini lah yang menyebabkan perbedaan yang signifikan dalam hal dampak kepada perilaku masyarakat dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Yang pertama. Pada masa itu teknologi informasi belum semarak dan semaju sekarang, media sosial seperti whatsapp, telegram dan instagram belum lahir bahkan mungkin baru sebatas angan-angan pembuat nya. Sedangkan twitter dan facebook saat itu masih sedikit pengguna nya, jadi boleh dibilang tidak ada pengaruh nya bagi masyarakat luas. ( noted : whatsapp muncul tahun 2009, facebook dan twitter lahir tahun 2004 dan 2006, instagtam berdiri tahun 2010, bahkan telegram baru rilis tahun 2013 ).
Oleh sebab media sosial tidak berpengaruh besar sama sekali terhadap perilaku masyarakat luas saat itu, maka pemerintah dengan mudah mengontrol keadaan dan kondisi masyarakat nya. Akses informasi dan berita tentang wabah pandemi virus SARS/Flu burung/dan MERS saat itu dapat dengan mudah sepenuh nya dikontrol, dikelola dan disaring oleh pemerintah. Mana yang harus masyarakat luas ketahui, dan mana yang tidak harus di ketahui oleh masyarakat luas.Â
terjadilah dampak yang positif di dalam masyarakat luas saat itu, masyarakat menjadi lebih bisa dikontrol, tidak panik, karena berita informasi telah ditata kelola dengan benar-benar rapi oleh pemerintah saat itu. Informasi yang penting, seperti bagaimana cara hidup bersih dan sehat, cara menjaga penularan dan penyebaran dampak wabah virus nya, dan informasi bagaimana virus itu menyebar, hingga himbauan-himbauan penting agar masyarakat tidak panik dan tidak terlalu khawatir menghadapi pandemi virus tersebut, menjadi kerja nyata pemerintah yang sangat efektif dan efisien saat itu dalam menata kelola perilaku masyarakat nya. Dan ini terbukti berhasil, bukan hanya berhasil mengendalikan agar masyarakat tidak paranoid tetapi juga tidak ada propaganda data yang hiperbola.
Pemerintah saat itu bekerja secara terfokus tanpa diganggu oleh serbuan media sosial yang dapat diakses masyarakat seperti sekarang. Hal ini tentu saja meghasilkan dampak positif untuk masyarakat luas. Dan terbukti saat itu masyarakat luas menjadi tidak perlu terlalu khawatir dan panik karena wabah pandemi virus tersebut. Semua nya dikelola secara normal berjalan apa ada nya, walaupun tidak bisa dipungkiri tetap ada titik-titik tempat tertentu yang difokuskan pencegahan dan penanganan nya, seperti di rumah sakit dan daerah yang termasuk zona merah penyebaran nya.
Saat itu tidak ada berita, foto/gambar dan video yang bebas beredar di masyarakat seperti sekarang yang kebanyakan mengakibatkan alur informasi menjadi bias, tidak terkontrol, bercampur antara yang benar dan yang bohong ( noted : hoax ). Lain lagi sekarang, semua lapisan masyarakat bisa bersuara dengan mengupload foto atau rekaman video mereka di laman-laman whatsapp atau facebook, dan semua orang bisa melihat serta menduplikasi nya secara tidak bertanggung jawab lalu menyebarkan kembali secara masif ke media sosial yang ada.Â
Lihatlah sekarang, masyarakat penggiat medsos kebanyakan bikin gaduh di sana sini, sampai-sampai banyak para tenaga kesehatan pun ikut berswafoto dan berswavideo, entah apa maksudnya merekam aktifitas nya dan membumbui nya dengan narasi-narasi yang memancing emosional masyarakat, kemudian banyak mendatangkan pro kontra di kalangan masyarakat umum.Â
Berbeda 360 derajat pada saat itu, tidak kita temui hal-hal semacam ini. Masyarakat dengan tenang menjalankan kehidupan nya tanpa diganggu dengan aktifitas media sosial yang heboh seperti sekarang ini. Situasi keadaan sangat kondusif, tidak ada kelangkaan barang-barang alat kesehatan. Meraka para tenaga kesehatan juga dapat fokus melaksanakan tugas nya yang mulia itu tanpa kekurangan alat dan bahan untuk melindungi diri nya, dan yang pasti tanpa harus menyibuk kan diri terlibat secara masif di media sosial karena tujuan ingin dilihat orang, dengan berswafoto atau beswavideo.
Yang kedua. Tampuk kepemimpinan dalam pemerintahan saat itu tidak dipengaruhi oleh rivalitas berat tiada akhir antar kelompok golongan satu pendukung dengan pendukung lain nya, seperti terjadi saat ini. Saat itu tidak ada politisasi kasus wabah pandemik virus yang terjadi. Pemerintah paham, politisasi berita malah akan menghambat penanganan kasus wabah pandemik virus tersebut. Berbeda dengan sekarang, rivalitas para pendukung yang kuat ini mengakibatkan banyak nya bantahan demi kepentingan politik tertentu, untuk menjatuhkan satu sama lain hingga masyarakat luas dapat merasakan dan melihat nya.Â
Berbeda pada saat itu, kepemimpinan pemerintah satu suara dalam menghadapi pandemi virus dan disampaikan kepada masyarakat dengan tepat. Walaupun dalam kenyataan nya ada juga masyarakat yang skeptis dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah, namun hal itu biasa mereka lakukan sebatas memprotes dan mendemo pemerintahan saat itu. Cukup sampai di situ. Kalau sekarang dendam kesumat nya terus digenggam oleh para pendukung nya masing-masing yang terus menerus gontok-gontokan tidak ada ujung nya.
Dulu rentang 2 dekade kebelakang, Presiden bicara A, Mensesneg, Menkopolkam, Mendagri, Menkes, Menkeu, Panglima Abri, Kapolri, semua satu suara juga bicara A. Level pembantu presiden saja semua nya sepakat bicara A pada saat itu, apalagi Gubernur, Bupati, Walikota sampai Camat nya.
Sekarang? Lihatlah. Presiden bicara A, pembantu Presiden yang lain bicara B, C, D, E, stafsus presiden dan jubir nya meluruskan lagi, Gubernur, Bupati, sampai Walikota disorientasi sembari menunggu kepastian dari pucuk, masyarakat umum kebingungan akhirnya ambil keputusan sendiri menyangkut hajat hidup mereka. Belum lagi suara-suara nyinyir antar buzzer dan influencer? Makin memperparah keadaan. Tidak ada kordinasi yang terintegrasi, istana rakyat pun jadi punya beragam informasi.
Inilah yang saya anggap sebagai permasalahan paling penting dalam kaitan penanganan wabah pandemik covid 19 sekarang ini. Bagaimana kita semua disuguhkan dengan drama-drama yang nyata maupun yang dibuat-buat oleh sebab kekisruhan antar mereka yang tidak habis-habis episode nya.
Setiap hari ada saja beredar di media sosial unggahan-unggahan, baik berupa tulisan, foto, dan video, yang diedit atau tidak, dengan bertujuan menyerang kepada salah satu kelompok yang bermusuhan tadi, Â dan juga sebalik nya. Rivalitas yang tidak pernah berujung antar pendukung yang saling berseteru dalam rentang kurun hampir 7 tahun ini. Yang akhir nya bukan malah bisa menenangkan dan menurunkan tensi keadaan masyarakat, tapi justru membuat makin panik mereka, akibat tidak satu suara kepemimpinan dalam pemerintahan ini. Akhir nya media sosial yang sudah terlanjur menjadi "Dewa" pun mengambil alih persoalan wabah virus corona 19 ini, yang semakin membuat carut marut alur kebijakan yang diambil oleh pemimpin nya.
Tidak bisa dipungkiri, negeri ini sebenarnya telah memiliki pengalaman dalam penanganan wabah pandemi virus penyakit sebelum nya. Yang dapat di atasi dengan elegan oleh pemerintahan saat itu, dalam rentang satu dan dua dekade lebih dari sekarang. Maka seharus nya pemerintahan sekarang bisa belajar dari kasus wabah-wabah pandemi virus yang telah berlalu. Seyogiya nya pemerintah dapat menangkal dan menyekat hal-hal persoalan yang dapat berdampak buruk  berkaitan dengan arus lalu lintas sosial media. Seharus nya pemerintah juga semakin dewasa dalam mengambil kebijakan-kebijakan politik nya, mengakomodir suara masyarakat luas, memberlakukan peringatan dini tentang penanganan cegah tangkal lalu lintas manusia yang masuk dan keluar dari wilayah kedaulatan kita. Tapi kenyataan nya kita malah mundur jauh kebelakang, seakan-akan tidak ingat lagi bahwa kita pernah sukses menangkal dan menanggulagi wabah pandemi virus penyakit yang pernah masuk Indonesia. Inilah dampak buruk akibat dari media sosial dan rivalitas elit serta pendukung nya yang tidak selesai-selesai ini. Dimana kah letak kedaulatan dan kewibawaan penguasa?
Dahulu masyarakat tidak tibut-ribut masalah lockdown, karena mereka saat itu tidak pernah disibukan oleh jerat media sosial dan juga tidak ada nya rivalitas elit politik dan antar pendukung nya. Saat itu masyarakat luas nyaris tidak memiliki kepentingan apa-apa untuk menekan, apalagi menjatukan pemerintah di saat ada nya kasus serangan wabah pandemi virus penyakit saat itu.Â
Sekarang? Lihatlah...berapa banyak buzzer dan influencer yang ada dari kedua belah pihak? Belum termasuk berapa juta orang yang hanya menjadi pendukung salah satu nya dan ikut berteriak-teriak. Semua nya malah membuat rusuh harmonisasi dan membuat dampak panik kepada masyarakat luas dengan berita-berita nya, dengan kiriman gambar dan foto-foto nya, dengan kiriman video-video yang viral dan tendensius?Â
Sekarang conflict of interest ( noted : konflik kepentingan ) membuat orang-orang yang bermusuhan ( noted : berivalitas ) di antara mereka sibuk menyuarakan kepentingan nya, mengklaim bahwa data mereka yang paling benar dan valid, lalu saling menyalahkan kebijakan yang diambil.
Contoh kasus nya, sederhana saja. Pemerintah menyatakan, Indonesia tidak akan lockdown dengan ada nya kasus wabah pandemik virus ini. Tapi bagi mereka yang berseteru dengan pemerintah, termasuk para buzzer/influencer dan fansboy nya justru menyalahkan pemerintah, di sisi lain, reaksi para buzzer/influencer serta masyarakat yang menjadi pendukung pemerintah sekarang, mengkonter kembali sarangan-serangan rival nya tersebut. Hal ini akhirnya membuat kondisi keadaan semakin kalut, tidak bersinergi, lemah, malah saling menjatuhkan, akibat nya masyarakat luas menjadi semakin bingung dan panik. Yang kerja ya kerja, yang takut ya takut keluar. Tidak ada kepastian jaminan sosial. Hehe
Dahulu, zaman wabah pandemik virus SARS/Flu burung/dan MERS, sebelum ribut-ribut masalah lockdown seperti sekarang, sebenarnya juga telah diterapkan oleh negara-negara dengan dampak wabah pandemi terbanyak. Saat itu negara-negara seperti Cina, Hongkong, Singapura, Kanada, dan beberapa negara Timur Tengah memutuskan melakukan lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran wabah pandemi virus nya saat itu. Tapi apakah saat itu masyarakat Indonesia juga ribut-ribut memaksa negeri ini ikutan lockdown? Tidak.
Maka kesimpulan nya adalah : dua faktor utama di atas yang menjadikan negeri ini sekarang menjadi lebih berisik dari pada masa-masa penanganan wabah pandemi virus sebelum nya, padahal Indonesia telah memiliki pengalaman mengatasi nya. Yang sejatinya pemerintah harus nya mengingat dan menyadari bahwa dulu kita mampu mengatasi nya tanpa ribut-ribut seperti sekarang. Mengambil inti sari pengalaman kembali ke masa-masa tahun 2002-2003, 2005-2007 dan 2009.Â
Jadi ingatkah anda sekarang? Apa yang anda semua rasakan saat itu? Apakah anda paranoid, panik, biasa saja, normal waspada, atau malah anda tidak ingat? atau jangan-jangan anda yang membaca artikel ini tidak pernah tahu bahwa pada tahun-tahun tersebut indonesia pernah diserang wabah pandemi virus yang juga mematikan? Hehe.
Semoga semua cobaan, aral rintangan dan musuh jahat yang bersatu padu menyerang kedaulatan Republik Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini, satu per satu akan sirna dan hilang berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Dan Indonesia kembali menjadi negara yang merdeka, berdaulat penuh, adil dan makmur bagi segenap masyarakat nya. Aamiiin Allahumma aamiiin
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H