Mohon tunggu...
Arief Riady
Arief Riady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Sosial - Gemstone Lover

1 + 1 = ~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Covid-1, Covid-19, Media Sosial dan Rivalitas kekuasaan

30 Maret 2020   21:56 Diperbarui: 2 Juli 2020   19:46 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Yang pertama. Pada masa itu teknologi informasi belum semarak dan semaju sekarang, media sosial seperti whatsapp, telegram dan instagram belum lahir bahkan mungkin baru sebatas angan-angan pembuat nya. Sedangkan twitter dan facebook saat itu masih sedikit pengguna nya, jadi boleh dibilang tidak ada pengaruh nya bagi masyarakat luas. ( noted : whatsapp muncul tahun 2009, facebook dan twitter lahir tahun 2004 dan 2006, instagtam berdiri tahun 2010, bahkan telegram baru rilis tahun 2013 ).

Oleh sebab media sosial tidak berpengaruh besar sama sekali terhadap perilaku masyarakat luas saat itu, maka pemerintah dengan mudah mengontrol keadaan dan kondisi masyarakat nya. Akses informasi dan berita tentang wabah pandemi virus SARS/Flu burung/dan MERS saat itu dapat dengan mudah sepenuh nya dikontrol, dikelola dan disaring oleh pemerintah. Mana yang harus masyarakat luas ketahui, dan mana yang tidak harus di ketahui oleh masyarakat luas. 

terjadilah dampak yang positif di dalam masyarakat luas saat itu, masyarakat menjadi lebih bisa dikontrol, tidak panik, karena berita informasi telah ditata kelola dengan benar-benar rapi oleh pemerintah saat itu. Informasi yang penting, seperti bagaimana cara hidup bersih dan sehat, cara menjaga penularan dan penyebaran dampak wabah virus nya, dan informasi bagaimana virus itu menyebar, hingga himbauan-himbauan penting agar masyarakat tidak panik dan tidak terlalu khawatir menghadapi pandemi virus tersebut, menjadi kerja nyata pemerintah yang sangat efektif dan efisien saat itu dalam menata kelola perilaku masyarakat nya. Dan ini terbukti berhasil, bukan hanya berhasil mengendalikan agar masyarakat tidak paranoid tetapi juga tidak ada propaganda data yang hiperbola.

Pemerintah saat itu bekerja secara terfokus tanpa diganggu oleh serbuan media sosial yang dapat diakses masyarakat seperti sekarang. Hal ini tentu saja meghasilkan dampak positif untuk masyarakat luas. Dan terbukti saat itu masyarakat luas menjadi tidak perlu terlalu khawatir dan panik karena wabah pandemi virus tersebut. Semua nya dikelola secara normal berjalan apa ada nya, walaupun tidak bisa dipungkiri tetap ada titik-titik tempat tertentu yang difokuskan pencegahan dan penanganan nya, seperti di rumah sakit dan daerah yang termasuk zona merah penyebaran nya.

Saat itu tidak ada berita, foto/gambar dan video yang bebas beredar di masyarakat seperti sekarang yang kebanyakan mengakibatkan alur informasi menjadi bias, tidak terkontrol, bercampur antara yang benar dan yang bohong ( noted : hoax ). Lain lagi sekarang, semua lapisan masyarakat bisa bersuara dengan mengupload foto atau rekaman video mereka di laman-laman whatsapp atau facebook, dan semua orang bisa melihat serta menduplikasi nya secara tidak bertanggung jawab lalu menyebarkan kembali secara masif ke media sosial yang ada. 

Lihatlah sekarang, masyarakat penggiat medsos kebanyakan bikin gaduh di sana sini, sampai-sampai banyak para tenaga kesehatan pun ikut berswafoto dan berswavideo, entah apa maksudnya merekam aktifitas nya dan membumbui nya dengan narasi-narasi yang memancing emosional masyarakat, kemudian banyak mendatangkan pro kontra di kalangan masyarakat umum. 

Berbeda 360 derajat pada saat itu, tidak kita temui hal-hal semacam ini. Masyarakat dengan tenang menjalankan kehidupan nya tanpa diganggu dengan aktifitas media sosial yang heboh seperti sekarang ini. Situasi keadaan sangat kondusif, tidak ada kelangkaan barang-barang alat kesehatan. Meraka para tenaga kesehatan juga dapat fokus melaksanakan tugas nya yang mulia itu tanpa kekurangan alat dan bahan untuk melindungi diri nya, dan yang pasti tanpa harus menyibuk kan diri terlibat secara masif di media sosial karena tujuan ingin dilihat orang, dengan berswafoto atau beswavideo.

Yang kedua. Tampuk kepemimpinan dalam pemerintahan saat itu tidak dipengaruhi oleh rivalitas berat tiada akhir antar kelompok golongan satu pendukung dengan pendukung lain nya, seperti terjadi saat ini. Saat itu tidak ada politisasi kasus wabah pandemik virus yang terjadi. Pemerintah paham, politisasi berita malah akan menghambat penanganan kasus wabah pandemik virus tersebut. Berbeda dengan sekarang, rivalitas para pendukung yang kuat ini mengakibatkan banyak nya bantahan demi kepentingan politik tertentu, untuk menjatuhkan satu sama lain hingga masyarakat luas dapat merasakan dan melihat nya. 

Berbeda pada saat itu, kepemimpinan pemerintah satu suara dalam menghadapi pandemi virus dan disampaikan kepada masyarakat dengan tepat. Walaupun dalam kenyataan nya ada juga masyarakat yang skeptis dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah, namun hal itu biasa mereka lakukan sebatas memprotes dan mendemo pemerintahan saat itu. Cukup sampai di situ. Kalau sekarang dendam kesumat nya terus digenggam oleh para pendukung nya masing-masing yang terus menerus gontok-gontokan tidak ada ujung nya.

Dulu rentang 2 dekade kebelakang, Presiden bicara A, Mensesneg, Menkopolkam, Mendagri, Menkes, Menkeu, Panglima Abri, Kapolri, semua satu suara juga bicara A. Level pembantu presiden saja semua nya sepakat bicara A pada saat itu, apalagi Gubernur, Bupati, Walikota sampai Camat nya.

Sekarang? Lihatlah. Presiden bicara A, pembantu Presiden yang lain bicara B, C, D, E, stafsus presiden dan jubir nya meluruskan lagi, Gubernur, Bupati, sampai Walikota disorientasi sembari menunggu kepastian dari pucuk, masyarakat umum kebingungan akhirnya ambil keputusan sendiri menyangkut hajat hidup mereka. Belum lagi suara-suara nyinyir antar buzzer dan influencer? Makin memperparah keadaan. Tidak ada kordinasi yang terintegrasi, istana rakyat pun jadi punya beragam informasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun