Mohon tunggu...
Arief Riady
Arief Riady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Sosial - Gemstone Lover

1 + 1 = ~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Covid-1, Covid-19, Media Sosial dan Rivalitas kekuasaan

30 Maret 2020   21:56 Diperbarui: 2 Juli 2020   19:46 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah yang saya anggap sebagai permasalahan paling penting dalam kaitan penanganan wabah pandemik covid 19 sekarang ini. Bagaimana kita semua disuguhkan dengan drama-drama yang nyata maupun yang dibuat-buat oleh sebab kekisruhan antar mereka yang tidak habis-habis episode nya.

Setiap hari ada saja beredar di media sosial unggahan-unggahan, baik berupa tulisan, foto, dan video, yang diedit atau tidak, dengan bertujuan menyerang kepada salah satu kelompok yang bermusuhan tadi,  dan juga sebalik nya. Rivalitas yang tidak pernah berujung antar pendukung yang saling berseteru dalam rentang kurun hampir 7 tahun ini. Yang akhir nya bukan malah bisa menenangkan dan menurunkan tensi keadaan masyarakat, tapi justru membuat makin panik mereka, akibat tidak satu suara kepemimpinan dalam pemerintahan ini. Akhir nya media sosial yang sudah terlanjur menjadi "Dewa" pun mengambil alih persoalan wabah virus corona 19 ini, yang semakin membuat carut marut alur kebijakan yang diambil oleh pemimpin nya.

Tidak bisa dipungkiri, negeri ini sebenarnya telah memiliki pengalaman dalam penanganan wabah pandemi virus penyakit sebelum nya. Yang dapat di atasi dengan elegan oleh pemerintahan saat itu, dalam rentang satu dan dua dekade lebih dari sekarang. Maka seharus nya pemerintahan sekarang bisa belajar dari kasus wabah-wabah pandemi virus yang telah berlalu. Seyogiya nya pemerintah dapat menangkal dan menyekat hal-hal persoalan yang dapat berdampak buruk  berkaitan dengan arus lalu lintas sosial media. Seharus nya pemerintah juga semakin dewasa dalam mengambil kebijakan-kebijakan politik nya, mengakomodir suara masyarakat luas, memberlakukan peringatan dini tentang penanganan cegah tangkal lalu lintas manusia yang masuk dan keluar dari wilayah kedaulatan kita. Tapi kenyataan nya kita malah mundur jauh kebelakang, seakan-akan tidak ingat lagi bahwa kita pernah sukses menangkal dan menanggulagi wabah pandemi virus penyakit yang pernah masuk Indonesia. Inilah dampak buruk akibat dari media sosial dan rivalitas elit serta pendukung nya yang tidak selesai-selesai ini. Dimana kah letak kedaulatan dan kewibawaan penguasa?

Dahulu masyarakat tidak tibut-ribut masalah lockdown, karena mereka saat itu tidak pernah disibukan oleh jerat media sosial dan juga tidak ada nya rivalitas elit politik dan antar pendukung nya. Saat itu masyarakat luas nyaris tidak memiliki kepentingan apa-apa untuk menekan, apalagi menjatukan pemerintah di saat ada nya kasus serangan wabah pandemi virus penyakit saat itu. 

Sekarang? Lihatlah...berapa banyak buzzer dan influencer yang ada dari kedua belah pihak? Belum termasuk berapa juta orang yang hanya menjadi pendukung salah satu nya dan ikut berteriak-teriak. Semua nya malah membuat rusuh harmonisasi dan membuat dampak panik kepada masyarakat luas dengan berita-berita nya, dengan kiriman gambar dan foto-foto nya, dengan kiriman video-video yang viral dan tendensius? 

Sekarang conflict of interest ( noted : konflik kepentingan ) membuat orang-orang yang bermusuhan ( noted : berivalitas ) di antara mereka sibuk menyuarakan kepentingan nya, mengklaim bahwa data mereka yang paling benar dan valid, lalu saling menyalahkan kebijakan yang diambil.

Contoh kasus nya, sederhana saja. Pemerintah menyatakan, Indonesia tidak akan lockdown dengan ada nya kasus wabah pandemik virus ini. Tapi bagi mereka yang berseteru dengan pemerintah, termasuk para buzzer/influencer dan fansboy nya justru menyalahkan pemerintah, di sisi lain, reaksi para buzzer/influencer serta masyarakat yang menjadi pendukung pemerintah sekarang, mengkonter kembali sarangan-serangan rival nya tersebut. Hal ini akhirnya membuat kondisi keadaan semakin kalut, tidak bersinergi, lemah, malah saling menjatuhkan, akibat nya masyarakat luas menjadi semakin bingung dan panik. Yang kerja ya kerja, yang takut ya takut keluar. Tidak ada kepastian jaminan sosial. Hehe

Dahulu, zaman wabah pandemik virus SARS/Flu burung/dan MERS, sebelum ribut-ribut masalah lockdown seperti sekarang, sebenarnya juga telah diterapkan oleh negara-negara dengan dampak wabah pandemi terbanyak. Saat itu negara-negara seperti Cina, Hongkong, Singapura, Kanada, dan beberapa negara Timur Tengah memutuskan melakukan lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran wabah pandemi virus nya saat itu. Tapi apakah saat itu masyarakat Indonesia juga ribut-ribut memaksa negeri ini ikutan lockdown? Tidak.

Maka kesimpulan nya adalah : dua faktor utama di atas yang menjadikan negeri ini sekarang menjadi lebih berisik dari pada masa-masa penanganan wabah pandemi virus sebelum nya, padahal Indonesia telah memiliki pengalaman mengatasi nya. Yang sejatinya pemerintah harus nya mengingat dan menyadari bahwa dulu kita mampu mengatasi nya tanpa ribut-ribut seperti sekarang. Mengambil inti sari pengalaman kembali ke masa-masa tahun 2002-2003, 2005-2007 dan 2009. 

Jadi ingatkah anda sekarang? Apa yang anda semua rasakan saat itu? Apakah anda paranoid, panik, biasa saja, normal waspada, atau malah anda tidak ingat? atau jangan-jangan anda yang membaca artikel ini tidak pernah tahu bahwa pada tahun-tahun tersebut indonesia pernah diserang wabah pandemi virus yang juga mematikan? Hehe.

Semoga semua cobaan, aral rintangan dan musuh jahat yang bersatu padu menyerang kedaulatan Republik Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini, satu per satu akan sirna dan hilang berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Dan Indonesia kembali menjadi negara yang merdeka, berdaulat penuh, adil dan makmur bagi segenap masyarakat nya. Aamiiin Allahumma aamiiin
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun