“Haikal, kok enggak masuk?” seseorang bertanya.
Anak yang dipanggil Haikal itu menengok ke arah suara, dia tidak menyadari bahwa ada yang datang untuk salat. Dia tersenyum.
“Ada apa?” Laki-laki tiga puluh tahunan itu bertanya lagi. “Ayo, masuk!” ajaknya kemudian.
Haikal menengok ke dalam musala, imam sudah membaca surat pendek di rakaat kedua. Tidak mengikuti langkah laki-laki tiga puluh tahunan yang hedak masuk ke dalam bangunan musala, Haikal justru kembali memandang keramaian pasar malam. Ramai,batinnya.
Laki-laki itu menghentikan langkahnya, dia menatap Haikal. Tak lama dia kemudian menghampiri anak itu. Mengusap punggungnya. “Ada apa, Nak?” lantas dia bertanya dengan lembut.
Haikal menatap lawan bicaranya—lamat—kemudian kembali menatap keramaian. Mata bocah laki-laki itu semakin terusik saat tiga orang melewati musala, seorang Ayah, Ibu dan anak perempuannya.
“Aku mau baju baru, ya, Ayah! Warna putih, biar sama kayak temanku, Dinda.” Anak perempuan itu berucap.
“Jangan norak, ah. Masa pakai baju sama, yang lain saja,” Ibunya menanggapi.
Ayahnya tersenyum, lantas berkata, “Nanti kita pilih yang bagus, ya.”
Haikal tercenung, memerhatikan ketiganya yang berjalan menuju pasar malam yang ramai. Lelaki di sampingnya memerhatikan raut wajah Haikal, sedangkan imam beserta makmumnya sudah ruku di rakaat kedua.
“Lihat, Pak, Min. Ramai. Di musala sepi,” Haikal akhirnya berbicara.