Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Topeng

4 Juni 2017   21:19 Diperbarui: 5 Juni 2017   04:28 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict by Freepik.com

“Makasih,” Edgar yang menanggapi. Dia lantas menggeser laptopnya.

Sudah setahun ini Nadira dan beberapa teman kuliahnya mengadakan kegiatan sosial. Menyewa rumah di salah satu desa tak jauh dari rumahnya, kemudian menyulapnya menjadi rumah belajar. Perpustakaan kecil-kecilan di bangun di sana—tentu saja masih dengan koleksi buku seadannya yang kebanyakan sumbangan dari teman-temannya—dan tiap minggu, dia rutin mendatangkan guru untuk belajar Bahasa Inggris juga Matematika—yang juga teman dan kakak tingkatnya semasa sekolah yang sudah menyelesaikan pendidikan dan berprofesi sebagai guru.

Intinya, dia akan ‘memanfaatkan’ relasi dengan amat baik untuk rumah belajar yang dikelolanya. Jendela, begitu tempat itu disebut sudah menampung sekitar 30 anak yang mau belajar dari sekitaran tempat itu berdiri. Dan sampai saat ini sudah banyak simpati yang berdatangan dari mulai menyumbang buku sampai membayarkan biaya sewa tiap bulannya. Bahkan tak jarang ada juga yang membawakan kudapan untuk anak-anak yang belajar di sana. Kupikir adik kelasku ini cukup sukses mengelola apa yang tengah dirintisnya.

Seperti yang kubilang tadi, rumah belajar yang dirintisnya ini mendapat sorotan cukup banyak orang. Mendapat simpati dari berbagai kalangan, salah satunya politisi yang sejak tadi menjadikan Nadira gundah gulana. Bagaimana tidak, mula-mula sang politisi datang terlampau sering dengan memberikan banyak buku-buku anak baru—yang memang dibutuhkan Nadira dan kawan-kawannya. Lama-lama si politisi itu memaksanya menerima bantuan jauh lebih besar dengan timbal balik si politisi dicantumkan namanya sebagai dewan pengasuh di Jendela. Tujuannya tentu untuk mendapatkan nama. Simpati yang datang tentu tidak hanya untuk Jendela, tapi juga untuknya.

Apa yang diucapkan Edgar kiranya memang benar, pejabat lebih sering mengenkan topeng daripada menampakkan wajah aslinya.

“Terus sekarang apa?” tanya Edgar, sambil mengunyah makanannya.

“Ya gua enggak mau terima. Enak aja!”

Edgar menyesap es teh miliknya, “Ya tinggal ditolak.”

“Bisa enggak sih, kita enggak kayak orang kebanyakan?” Aku menyelak sebelum Nadira menjawab apa yang baru saja dilontarkan Edgar. Keduanya saling pandang. “Kita lagi makan,” kataku cepat.

“Ya abis gua kesel, Gi! itu politisi hampir setiap hari ngirim koncoya buat bicarain ginian, bikin anak-anak enggak nyaman belajar."

Aku menghentikan aktivitas mengunyahku, menyesap minuman lalu menatap Nadira lekat-lekat. “Oke gini, Gua dari awal lu bilang bahwa mau buat rumah belajar itu amat sangat dukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun