Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Badai di Buritan Kapal

8 Oktober 2016   15:00 Diperbarui: 10 Oktober 2016   00:03 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Freepik.com

"Kita ke dalam," aku mengajaknya untuk berteduh ke dalam kapal.

Leah tidak menjawab. Dia tetap di posisinya.

"Leah, hujan sudah terlalu besar, kamu bisa sakit." Aku berusaha membangunkan kesadarannya. Tapi dia bersikukuh ingin tetap di sini. Dihujani.

Aku kembali duduk tenang di sampingnya. Persetan dengan hujan dan angin yang kian kencang menapar tubuh ringkih kami. Aku mencoba duduk dan berusaha mencari kata yang pas untuk kepastian hubungan ini. Posisi hubungan kami sama dengan nasib kapal ini, terombang-ambing.

"Dari dulu aku memang memegang konsep saling merelakan ini. Hubungan kita memang tentang saling merelakan. Hanya saja, untuk poin terburuknya aku belum siap,” aku berterus terang. “Tapi aku harus mengerti dan paham tentang ini, Leah. Ya, ini adalah konsepnya! Mau tidak mau, suka atau pun tidak suka, toh akhirnya ini terjadi. Dan akirnya pula, aku harus merelakanmu dengan orang yang kamu pilih. Aku merelakannya kalau akhinya aku tersingkir. Aku tahu diri, betul. Dan sudah kita sepakati jugakan, sebelumnya. Ini bukan tentang sekadar saling menjaga hati, tapi juga saling merelakan. Aku merelakanmu untuk berkenalan, berjabat tangan, menyapa. Dan yang terburuknya seperti sekarang ini."

Leah tidak merespon ucapanku.

Aku menghela napas panjang, menengadah ke langit dan membiarkan wajahku ditampar bulir-bukir hujan. “Sekilas aku berpikir, kalau rasanya bodoh sekali menggunakan prinsip itu. Kita seolah membiarkan orang yang kita cintai terjamah yang lain, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa hanya karena berdasar dari kerelaan itu tadi." ucapku sambil tersenyum getir.

"Bukan itu, Re."

Aku tidak menjawab, yang kurasakan detik ini adalah dua badai langsung menghajarku di satu waktu, namun beda tempat.

***

Awan putih menggantung indah di padang Lavender. Bunga itu begitu indah. Aku dan Leah duduk di sebuah kursi panjang sambil mematap indahnya semua bunga berwarna ungu di sini. Leah menyadarkan kepalanya pada bahuku. Aku meletakkan tangan kananku di kepalanya dan mengelus rambut panjangnya. Dia mematapku manja.

"Leah, apa dia juga rela saat akhirnya kamu kembali padaku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun