Kali ini dapat kutemukan bola mata itu. Bola mata yang terlihat tidak berbinar seperti biasanya. Kuperhatikan, bahkan ini jauh lebih menyedihkan dibanding saat dia mendapati Bogi yang terlindas truk dua tahun lalu. Aku tahu ada yang salah. Sebenarnya saat dia mengucapkan kata-katanya tadi, dadaku seperti ditindih beton. Aku tahu ini tentang ….
"Apa kamu jenuh sama ini semua?" Aku memberanikan dari untuk bertanya demikian, karena aku yakin maksud dari arah pembicaraannya memang tentang itu.
"Apa kamu percaya denganku yang akan selalu menjaga hatiku untukmu, Re?" Leah kembali menatap laut luas.
Aku tak berpaling, fokusku tetap ada pada bola matanya yang telah berpaling. Aku diam beberapa detik, mencoba menikmati tamparan angin laut dari arah samping yang kian keras. "Apakah pertanyaan sejenis itu perlu mendapatkan jawaban?" Aku balik bertanya.
"Apakah saat kau memutuskan untuk tidak menjawabnya, itu artinya jawaban 'Iya,' untuk pertanyaanku tadi?" Leah menanggapi sengit.
"Aku tahu ini adalah titiknya. Aku pernah membayangkan ada di titik ini. Dan jika ini benar adalah titiknya, aku akan tetap berusaha."
"Tapi, kamu harusnya ...,"
"Iya, aku sangat ingat dan sangat tahu diri," aku memotong kalimatnya. Aku sudah mengira ini sebelumnya, dan aku belum siap. "Tapi, apakah itu artinya ...?"
Leah mengangguk, "Aku benci harus mengatakan ini, Re. Aku benci," ucapnya lirih. dari sela kelopak matanya kini meluncur bulir air, turun ke pipi, kemudian jatuh di kemeja yang ia kenakan. Air mata itu cepat menghilang, merembas masuk ke pori-pori pakaianya. Tapi tetap saja, kuperhatikan ada bekasnya.
Aku paling tidak tega kalau Leahku ini sudah menitikan air mata. Aku kembali diam, bingung harus berbicara apa.
"Aku mencoba menolak, Re. Tapi waktu rupanya tidak bisa diajak kompromi. Dan aku tidak bisa untuk tidak berterus terang. Aku menyukainya, Re. Maafkan aku."