Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Badai di Buritan Kapal

8 Oktober 2016   15:00 Diperbarui: 10 Oktober 2016   00:03 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit baru saja berhenti menangis saat aku menerima pesan singkat dari Leah. Dalam pesan siangkatnya, dia menyebutkan akan pulang hari ini. Dengan senyum merekah aku menekan beberapa hurup pada ponsel, memberitahu bahwa aku akan menjemputnya di bandara. Tak beberapa lama pesannya datang lagi. Dia menyetujuinya.

***

Di batas senja aku dan Leah duduk di buritan kapal kayu berukuran sedang. Kapal yang kami tumpangi sedang berjuang memecah gelombang, demi mengantarkan kami kembali ke pelabuhan tempat tadi pagi kami berangkat.

Seperti biasa, kami kembali memilih duduk di bagian paling belakang kapal, menghadap ke belakang, memandang lautan lepas. Kuperhatikan wajah wanita yang sudah mengisi hatiku tiga tahun ini. Segaris dia nampak murung, sangat berbeda dengan tadi pagi saat kami pergi. Dia hanya menatap lautan luas tanpa mempedulikan kekasih yang sedari tadi memerhatikannya.  Sebenarnya aku ingin membiarkan Leah seperti itu. Tapi akhirnya, aku memegang bahunya.

"Leah ...."Aku mencoba membangunkan dia dari lamunan.

Leah tidak menjawab, dia masih berkutat pada lamunannya yang entah apa. Aku melepaskan peganganku pada bahunya, kali ini aku kembali membiarkan. Aku ikut hanyut memandang ke arah mana Leah menatap. Kuperhatikan laut lepas dengan latar belakang awan biru yang sedikit demi sedikit mulai menghitam. Mungkin dia juga memerhatikan hal yang sama—belasan ekor burung laut yang sejak tadi terombang-ambing mengikuti gerak gelombang, kemudian mulai terbang satu persatu meninggalkan lautan. Dan setelah semuanya pergi, yang terlihat hanyalah lautan dengan awan yang semakin hitam seperti mengejar kapal yang kami tumpangi.

"Re," katanya pelan, sambil terus menatap laut tepas.

Aku mencoba menatap wajahnya yang sendu, "Iya."

"Setelah kupikir-pikir ...," katanya terputus.

Aku tidak berusaha menjawabnya. Aku menunggu kalimat yang akan keluar berikutnya, sambil terus berusaha menemukan bola mata indahnya. Tapi sayangnya sampai beberapa detik aku mencarinya, mata indah itu tak kunjung datang.

"Ini tentang hubungan kita," ucapnya lirih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun