Telekomunikasi
 Telekomunikasi merupakan pengiriman, pemancaran, atau penerimaan informasi dalam bentuk tanda, tulisan, gambar, suara, isyarat, dan bunyi melalui kawat, radio, optik, atau sistem elektromagnetik yang lain. Terdapat Undang-Undang mengenai telekomunikasi yaitu Undang-Undang RI No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Terdapat juga lembaga yang mengatur penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia, yaitu Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.Â
Pembentukan badan tersebut mempunyai tujuan untuk menjamin adanya transparansi, independensi, akuntabilitas, dan prinsip keadilan dalam mengatur, mengawasi, dan mengendalikan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang terdapat aspek di dalamnya yaitu telekomunikasi dan konvergensi telematika yang mencakup infrastruktur penyiaran, internet, dan ekonomi digital.Â
Pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi, ia melakukan pembubaran terhadap Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020 pada 26 November 2020 karena pembubaran tersebut dianggap lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan serta untuk mencapai rencana strategis pembangunan nasional.
Regulasi Telekomunikasi dan Penyiaran
  Undang-Undang telekomunikasi yang tidak diatur secara eksplisit dapat menyebabkan operator lokal bisa dikuasai oleh orang atau negara asing. Pada pasal 17 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran terdapat aturan soal kepemilikan saham oleh pemodal asing dengan batasan 20%. UU Cipta Kerja memiliki hubungan dengan penyiaran karena dalam UU tersebut sempat dibahas mengenai perubahan UU Penyiaran.Â
Contohnya pada UU Cipta Kerja bagian penyederhanaan persyaratan di pasal 72 ayat 4 telang menghapus pasal 34 UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang berhubungan dengan batasan waktu izin penyelenggaraan. Pasal 34 mengatur tentang izin penyelenggaraan radio selama 5 tahun, sedangkan bagi izin penyiaran bisa sampai 10 tahun. Perizinan juga diperbarui saat masa berlaku sudah habis. Maka dari itu dengan dihapusnya pasal 34 UU No. 32 Tahun 2002 sama saja dengan mengaburkan masa penyiaran menjadi tidak terbatas.
Digitalisasi Penyiaran
Digitalisasi penyiaran merupakan proses penyederhanaan atau kompresi frekuensi dari analog ke digital dengan proses perubahan bentuk informasi, baik berupa angka, kata, suara, gambar, data dan gerak, yang dikodekan ke dalam bentuk binary digit atau bit yang merupakan unit satuan terkecil dalam komputasi digital (Budiman, 2015).Â
Proses penyederhanaan ini diakhiri dengan merangkum berbagai bentuk informasi tersebut ke dalam satu format sehingga dapat mengatur, mengirim, menyimpan dan menyajikan informasi sekaligus dalam satu perangkat. Digitalisasi penyiaran menciptakan pengoptimalisasian dan keefisienan penyiaran di mana jumlah kanal siaran lebih banyak dan dalam infrastruktur penyiaran cukup menggunakan satu alat untuk siaran (Rianto, dkk, 2012: 67). Hal ini menjadi solusi dalam mengatasi keterbatasan dan ketidakefisienan dari penyiaran analog.Â
Sistem penyiaran digital berjalan melalui multiplexing yaitu teknik penggabungan beberapa sinyal yang dikirimkan sekaligus secara bersamaan melalui satu kanal yang sama, kemudian kompresi dengan menggabungkan sejumlah audio/data stream ke dalam satu kanal penyiaran. Perbedaan penyiaran analog dan digital dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek kualitas gambar, analog masih berbintik dan berbayang, sedangkan digital telah menggunakan Standard Definition.Â
Distribusi siaran analog menggunakan transmisi pemancar milik stasiun TV dengan Tuner UHF (Antena) sebagai perangkat TV penerima sinyal, sedangkan digital menggunakan operator multiplekser (MUX) dengan Tuner DVB-T2 (Set Top Box) sebagai perangkat TV penerima sinyal. Kemudian, alokasi frekuensi analog yaitu 1 frekuensi UHF sebanyak 1 saluran TV, sedangkan digital 1 zona sebanyak 6 frekuensi, 1 frekuensi sebanyak 12 saluran TV, sehingga totalnya 6x12 yaitu 72 saluran TV. Sistem peringatan bencana yang belum tersedia pada analog juga sudah tersedia pada digital.
Pada April 2021, Kementerian Kominfo melakukan seleksi multiplexing pada 22 wilayah di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan digitalisasi penyiaran di Indonesia diatur dalam UU Cipta Kerja Pasal 60A yang berisikan:
Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
Migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan isi Pasal 60A ayat 2 UU Cipta Kerja, maka penyiaran di Indonesia harus sudah beralih ke digital atau akan melaksanakan ASO (analog switch-off) pada tanggal 02 November 2022 secara serentak. Diperlukan kerjasama dari berbagai pihak demi kelancaran pelaksanaan digitalisasi karena digitalisasi menyangkut aspek penyiaran dan kesiapan masyarakat serta industri penyiaran.Â
Perjalanan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia
Digitalisasi penyiaran telah diupayakan dilaksanakan sejak tahun 2007, namun terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Pada Maret 2007 ditetapkan DVB-T yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.7 Tahun 2007.Â
Dilakukan uji coba teknologi DVB-T berpacu pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.8 Tahun 2008 tentang Uji Coba Lapangan Penyelenggaraan Siaran Televisi Digital. Pada 13 Agustus 2008 dilaksanakan Soft Launching TV Digital Indonesia di Studio TVRI Jakarta dan pembuatan roadmap pada Grand Launching pada 20 Mei 2009 oleh Presiden SBY.Â
Namun penyelenggaraannya belum juga terjadi karena ketiadaan UU yang mengatur tentang penyiaran digital. Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) mengajukan uji materiil terhadap Peraturan Menteri Kominfo No.22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan  Free to Air kepada MA di tahun 2012 dan menemukan pertentangan antara Permen Kominfo dengan UU Penyiaran.Â
Pemerintah kemudian mencoba memperbaiki teknologi DVB-T dengan meluncurkan DVB-T Generasi 2 (DVB-T2). Selanjutnya, tahun 2016 LPP TVRI ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan uji coba siaran digital di beberapa kota. Hingga tahun 2020, siaran digital TVRI sudah dapat diterima di 120 daerah.Â
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, A. (2015). Model Pengelolaan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia. Politicia, 6(2), 107-122.
Budiman, A. (2016). Kesiapan Lembaga Penyiaran Melaksanakan Digitalisasi Penyiaran. Jakarta: Balai Pustaka.
Rahayu, Wahyono, B., Rianto, P., Kurnia, N., Wendratama, E., Siregar, A. E. (2015). Menegakkan Kedaulatan Telekomunikasi dan Penyiaran di Indonesia. Yogyakarta: PR2Media dan Yayasan Tifa.
Rianto, P., Wahyono, B., Yusuf, I. A., Zuhri, S., Cahyono. M. F., Rahayu, Masduki, Siregar, A. E. (2013). Digitalisasi Televisi di Indonesia. Yogyakarta: PR2Media dan Yayasan Tifa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H